JAKARTA, KOMPAS.com - "Merdeka, Merdeka..". Begitu suara gegap gempita dan teriakan dari sekitar 300.000 orang yang berada di Lapangan Ikada Jakarta pada 19 September 1945.
Peristiwa itu terjadi lebih kurang satu bulan setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia.
Lautan manusia yang bertekad mempertahankan kemerdekaan itu bergelora menyambut Presiden Soekarno ketika naik ke tribun.
Moeffreni Moe'min, Komandan Badan Keamanan Rakyat (BKR) selaku pendamping Soekarno dalam buku "Perjuangan Mempertahankan Jakarta Masa Awal Proklamasi: Kesaksian Para Pelaku Sejarah" berkisah masyarakat berbondong-bondong datang ke Lapangan Ikada sekitar pukul 10.00 WIB.
Mereka datang secara terorganisir. Moeffreni adalah orang yang mendampingi dan mengamankan Soekarno menuju podium untuk berpidato.
Baca juga: Napak Tilas Sejarah Taman Proklamasi, Area Pembacaan Teks Proklamasi hingga Perjuangan Tokoh Wanita
"Karena dengan demikian kebetulan kami sebagai pimpinan dari BKR, kami merasa terpanggil untuk berada di lapangan pada waktu itu," kata Moeffreni dalam wawancara tahun 1984 yang diterbitkan Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI).
Tentara Jepang awalnya melarang pemuda menggelar Rapat Raksasa di Lapangan Ikada. Pada 17 September malam hingga tanggal 18 September, mobil-mobil, tank panser wagon, mobil panser dari tentara Jepang mengumumkan pelarangan acara Rapat Raksasa di Lapangan Ikada.
Rakyat dari berbagai wilayah Jakarta dan sekitarnya, Penjaringan, Tanjung Priok, Mangga Besar, Senen, Tanah Abang, Jatinegara, Bekasi, Bogor, Tangerang, dan Banten datang berduyun-duyun.
Rakyat membawa poster-poster dan bendera merah putih. Sebagian besar datang dengan kereta api dan berhenti di Stasiun KA Gambir karena waktu itu satu-satunya alat transportasi yang murah meriah dan langsung menuju Lapangan Ikada adalah kereta api.
"Dari pihak Jepang itu, mereka mengadakan usaha-usaha sebetulnya menahan jangan sampai rakyat itu bisa masuk ke dalam lapangan itu (Lapangan Ikada). Tetapi tekanan-tekanan dari rakyat ini, rakyat mulai mendekat," kata Moeffreni.
Rakyat mendekati tank-tank milik Jepang. Waktu itu suasana betul-betul tegang dan mencekam. Namun rakyat sedikit pun tak gentar meski dijaga oleh tentara-tentara Jepang.
Baca juga: Mengenang Peristiwa Pembakaran Bekasi dari Tugu Perjuangan...
Bendera Merah Putih dan spanduk-spanduk bertuliskan kalimat perjuangan pun menghiasi lautan manusia.
Rakyat membawa senjata tajam seperti golok, tombak, pedang, dan bambu runcing. Ada pula yang membawa bom molotov.
"Yang kalau dilempar kepada tank itu bisa meledak dan terbakar atau kepada panser wagon," tambah Moeffreni.
Tentara Jepang melakukan penjagaan ketat dengan senjata dan bayonet terhunus. Tentara Jepang sangat waspada.