JAKARTA, KOMPAS.com - Robin Hood dari tanah Betawi, kata-kata itu yang sering tersematkan bagi Si Pitung.
Bagi orang Betawi, Pitung memang dibanggakan sebagai pahlawan. Ia rela membahayakan diri dengan mencuri rumah-rumah orang kaya demi menghidupi rakyat jelata.
Akan tetapi bagi kompeni (penjajah asal Belanda) Pitung diketahui sebagai penjahat yang susah ditumpas.
Dari cataran sejarah, Pitung hidup di akhir tahun 1800-an.
Dalam buku Sejarah Kampung Marunda yang diterbitkan Dinas Museum dan Sejarah Pemprov DKI Jakarta disebutkan, Pitung adalah anak bungsu dari empat bersaudara, yakni dua abang dan satu empok (kakak perempuan).
Baca juga: Mempelajari Sejarah Rumah Si Pitung, Rumah yang Tak Pernah Dihuni Si Pitung...
Pitung dikenal sebagai anak yang cerdas, sopan, soleh, serta taat menjalankan ajaran agama Islam yang dianutnya. Dia rajin belajar ilmu silat dari gurunya, Haji Naipin di Rawabelong hingga menjadi anak kesayangannya.
Saking sayang sama muridnya, sang guru memberikan semua ilmu silatnya, termasuk ilmu kekebalan diri.
Dari ilmu ini lah Pitung menjalankan aksi-aksinya merebut harta si kaya demi si miskin.
Dalam buku Batavia Kisah Jakarta Tempo Doeloe karangan Intisari, diceritakan bagaimana Pitung menggunakan salah satu ilmunya yakni menghilang.
Waktu itu, Pitung sedang berkunjung ke sebuah rumah kenalannya bernama Tempang. Tiba-tiba schout Van Hinne (polisi Belanda) datang mencarinya.
Baca juga: Menengok Rumah Si Pitung, Destinasi Bersejarah di Ujung Jakarta
Lalu ia berpesan kepada si pemilik rumah agar tidak memberi tahu Van Hinne bahwa ia bersembunyi di dapur.
Saat datang, jadilah Van Hinne menggeledah rumah tersebut. Setiap inci rumah termasuk dapur diperiksa dengan cermat. Tetapi, Pitung tak ditemukan.
Setelah Van Hinne pergi, Pitung kembali muncul di dapur.
Pada tahun 1992, Penerintah Provinsi DKI Jakarta menetapkan sebuah rumah di Marunda, Cilincing, Jakarta Utara sebagai cagar budaya.
Rumah panggung bercat coklat tua itu memiliki 15 meter dan lebar lima meter itu diberi nama Rumah Si Pitung.