PADA pagi hari 28 September 2016, dengan mata di kepala sendiri saya menyaksikan suatu peristiwa yang menurut Menteri Hukum dan DR HAM Yasonna Laoly, dan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi yang kini Menteri Koordinator Hukum, Politik dan Keamanan, Prof DR Mahfud MD, merupakan pelanggaran hukum secara sempurna.
28 September 2016 saya menyaksikan ratusan warga Bukit Duri kehilangan tempat berteduh atas nama pembangunan yang mengatasnamakan kemanusiaan dengan dalih normalisasi sungai akibat Ciliwung dianggap tidak normal.
Saya menyaksikan puluhan rumah atau lebih tepat disebut sebagai gubuk dirubuhkan atas nama pembangunan.
Saya menyaksikan kaum miskin diusir dari tempat berteduh mereka atas pembangunan demi menyejahterakan kaum miskin sementara tanah dan bangunan yang digusur masih resmi dalam proses pembangunan di PN dan PTUN.
Demi memperindah kenyataan digunakan istilah-istilah indah sebagai ikhtiar membenarkan kebijakan pengusuran kaum miskin seperti misalnya relokasi, normalisasi, cegah banjir bahkan langkah kemanusiaan demi menanggulangi kemiskinan.
Ditambah stigmasi yang digusur adalah sampah masyarakat, kriminal perampas tanah negara, penyebab banjir, perusak citra metropolitan dan aneka ragam predikat buruk lain-lainnya demi membentuk opini publik bahwa yang digusur memang bukan hanya layak namun hukumnya wajib digusur.
Ada pula keyakinan dogmatis bahwa pembangunan memang wajib disertai pengorbanan selama yang dikorbankan adalah orang lain bukan diri kita sendiri.
Memang yang bisa merasakan derita digusur hanya mereka yang digusur seperti berulang kali diungkapkan presiden Jokowi yang di masa kanak-kanak sempat tiga kali mengalami derita digusur atas nama pembangunan.
Disebut pelanggaran hukum secara sempurna akibat tanah dan bangunan yang digusur secara de facto sekaligus de jure masih berada pada masa proses hukum di Pengadilan Negeri sekaligus juga Pengadilan Tata Usaha Negara.
Namun yang terparah membebani sanubari serta nurani kemanusiaan saya adalah kenyataan bahwa pada 28 September 2016 untuk ke sekian kalinya terbukti secara tak terbantahkan bahwa saya hanya sesosok mahluk hidup lemah yang sama sekali tidak berdaya mencegah sesama manusia menyengsarakan sesama manusia.
Masyarakat miskin dan masyarakat adat di berbagai pelosok persada Nusantara menderita akibat penatalaksanaan pembangunan secara tidak selaras agenda pembangunan berkelanjutan yang sebenarnya telah disepakati oleh negara-negara anggota PBB termasuk Indonesia sebagai pedoman pembangunan planet bumi abad XXI tanpa mengorbankan alam dan manusia.
Yang bisa saya lakukan hanya dengan penuh kerendahan hati bersujud memanjatkan doa permohonan kepada Yang Maha Kasih untuk senantiasa berkenan melimpahkan anugerah berkah, anugrah kekuatan lahir dan batin kepada sesama warga Indonesia yang masih belum bisa menikmati nikmatnya kemerdekaan bangsa, negara dan rakyat Indonesia agar pada masa pagebluk Corona dapat bertahan demi bersama menempuh perjalanan hidup nan sarat beban kemelut deru campur debu berpercik keringat, air mata dan darah ini. Amin.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.