TANGERANG SELATAN, KOMPAS.com - Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) Kota Tangerang Selatan berencana menggelar aksi demonstrasi di depan gedung Balai Kota Tangerang Selatan, pada Selasa (6/10/2020) hari ini.
Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) SPSI Tangerang Selatan Vanny Sompie mengatakan, pihaknya akan mendatangi gedung Balai Kota siang ini.
Kendati demikian, Vanny belum dapat memastikan pukul berapa aksi demonstrasi akan mulai dilakukan.
"Untuk Tangsel kita giat ke Wali Kota Tangerang Selatan memang benar mas. Enggak ke Jakarta. Sesuai instruksi dari pusat, setiap daerah lakukan aksi di wilayah masing-masing," ujarnya saat dikonfirmasi Kompas.com, Selasa (6/10/2020).
Baca juga: Ketika Buruh Merasa Dibohongi Penguasa dan Wakil Rakyat soal UU Cipta Kerja...
Menurut Vanny, aksi yang bakal dilakukan Selasa siang ini tidak diikut oleh seluruh anggota SPSI cabang Tangerang Selatan.
Hanya sejumlah perwakilan yang hadir untuk menyampaikan kritik terkait pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI bersama Pemerintah.
"Belum sertakan banyak anggota. Hanya perwakilan saja yang turun untuk menyampaikan aspirasi ke Walikota," ungkapnya.
Dia pun berharap perwakilan massa aksi dapat bertemu dengan Wali Kota Tangerang Selatan Airin Rachmi Diany dan menyampaikan langsung aspirasi mereka terkait UU Cipta Kerja.
Baca juga: Buruh di Bekasi Disebut Siap Kena PHK Dampak Mogok Kerja
"Harapannya bisa bertemu Ibu Wali Kota. Menyampaikan kritik atas proses pembahasan juga pengesahan UU Cipta Kerja yang mendegradasi kesejahteraan kaum buruh," pungkas dia.
Sebelumnya, pengesahan UU Cipta Kerja menuai banyak sorotan dari publik. Regulasi tersebut dinilai merugikan pekerja.
Berikut sejumlah sorotan terkait Omnibus Law Cipta Kerja:
Penghapusan upah minimum
Salah satu poin yang ditolak serikat buruh adalah penghapusan upah minimum kota/kabupaten (UMK) dan diganti dengan upah minimum provinsi (UMP). Penghapusan itu dinilai membuat upah pekerja lebih rendah.
Padahal, dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003 disebutkan tak boleh ada pekerja yang mendapat upah di bawah upah minimum.
Baik UMP dan UMK, ditetapkan oleh gubernur dengan memperhatikan rekomendasi dari dewan pengupahan provinsi dan bupati/wali kota.