JAKARTA, KOMPAS.com - Kaum perempuan hampir selalu jadi objek seksual sekaligus kalangan yang "ditunjuk hidungnya" setiap kali ada konten porno yang viral.
Fenomena ini khas masyarakat patriarki, termasuk dalam konteks bermasyarakat di Indonesia yang kental sudut pandang lelaki.
Baru-baru ini, misalnya, media sosial kembali ramai oleh viralnya video porno yang melibatkan pemeran mirip selebritis perempuan.
Seperti yang sudah-sudah, kebanyakan orang masih saja menjadikan pemeran perempuan tersebut sebagai objek sekaligus kambing hitam.
"Pada dasarnya, masyarakat kita memang masih cenderung melakukan objektifikasi terhadap perempuan sebagai objek seksual," ujar Ketua Komnas Perempuan, Andy Yentriyani kepada Kompas.com, Senin (9/11/2020).
"Tetapi, saya pikir, sedari awal masyarakat kebanyakan yang mempercakapkan konten seperti ini tidak mempedulikan produksi dan distribusinya," jelasnya.
Menurut perempuan yang akrab disapa Yeni itu, dalam peristiwa viralnya video hubungan seksual, ada berbagai dimensi yang semestinya menjadi fokus bila ingin mengarahkannya sebagai suatu tindak kejahatan.
Dimensi kejahatan siber yang sesungguhnya dalam situasi ini justru luput diperhatikan.
Padahal, kejahatan terjadi justru ketika konten semacam itu dibuat tanpa kesepakatan pihak yang merekam dan direkam, atau disebarluaskan tanpa izin.
Masalahnya, kebanyakan orang dianggap masih awam soal ini.
Perbincangan akhirnya nyaris senantiasa bermuara pada identitas pemeran dalam video porno, yang celakanya - dalam kultur masyarakat yang patriarkis - berarti siapa pemeran perempuannya.
"Kita kehilangan daya untuk menganalisis secara kritis, apa sebetulnya situasi dan tindak kejahatan yang terjadi," kata Yeni.
Seorang feminis sekaligus pakar kajian media asal Inggris, Laura Mulvey pernah mencetuskan istilah “tatapan pria” (male gaze) untuk menggambarkan situasi macam ini.
Dalam esainya berjudul Visual Pleasure and Narrative Cinema (1975), Mulvey memaparkan teorinya, visualisasi pada film hampir selalu memakai sudut pandang penonton pria.
Ini merupakan turunan dari kultur masyarakat yang patriarkis, ketika kalangan lelaki begitu dominan, sedangkan perempuan dijadikan semata objek yang pasif.