DEPOK, KOMPAS.com - Raperda Kota Religius sempat jadi perbincangan antara 2 kandidat dalam debat publik perdana Pilkada Depok, Minggu (22/11/2020).
Sebagai informasi, peraturan daerah yang saat ini statusnya masih rancangan dan tengah dibahas di DPRD Kota Depok ini sempat menuai kontroversi karena dipandang sebagai beleid yang tak inklusif.
Imam Budi Hartono, calon wakil wali kota Depok nomor urut 2 usungan PKS menyinggung Perda Kota Religius saat lawannya, Afifah Alia, menagih keseriusan janji membangun madrasah negeri.
"Yang menjadi masalah berikutnya adalah kita ingin membangun madrasah tapi di satu sisi ada penolakan terhadap perda religius," kata Imam.
Baca juga: Ditanya Pradi soal Penanganan Covid-19 dalam Debat, Idris: Pertanyaan Ini di Luar Tema...
"Perda religius ini adalah salah 1 yang paling penting untuk membantu para guru ngaji, para pendeta, para biksu yang memang perlu untuk peningkatan perekonomian," jelas kader PKS itu.
Afifah pun membalas jawaban Imam dari sisi yang lain.
Pertama, menurutnya, jawaban Imam tak nyambung karena dirinya sedang menyoroti rezim PKS yang telah berkuasa 15 tahun di Depok, namun baru kali ini janji membangun madrasah negeri.
Kedua, Afifah menyatakan bahwa Perda Kota Religius justru tak sesuai dengan demografi Depok yang heterogen.
"Perda religius justru mengatur-atur dan mengotak-kotakkan masyarakat Kota Depok," ujar kader PDI-P tersebut.
"Kewajiban pemerintah kota adalah cukup memastikan bahwa pemerintah kota menjamin rakyat Kota Depok dapat menjalankan agamanya dengan baik. Toleransi itu penting," lanjutnya.
Pemerintah Kota Depok tak mau surut dalam upaya menjadikan Kota Depok sebagai kota "religius" sebagaimana tercantum dalam visi pasangan wali kota dan wakil wali kotanya: nyaman, unggul, dan religius.
Upaya itu dituangkan dengan sebisa mungkin meloloskan rancangan peraturan daerah (raperda) "Kota Religius" ke DPRD.
Tahun lalu, rancangan itu ditolak karena dianggap mencampuri urusan privat warganya.
Sorotan publik begitu deras tahun lalu, karena detail raperda itu memberi ruang bagi pemerintah menentukan urusan agama warganya, mulai dari menentukan definisi perbuatan yang dianggap tercela, praktik riba sampai "aliran sesat" dan "perbuatan syirik".
Bahkan, etika berpakaian pun diatur di situ. Belakangan, Mei 2019 lalu, Pemerintah Kota Depok angkat bicara bahwa pasal-pasal itu hasil saduran dari aturan sejenis di Tasikmalaya dan tak merepresentasikan maksud pemerintah dalam upaya mewujudkan "Kota Religius".