JAKARTA, KOMPAS.com – Megahnya Masjid Istiqlal tak mungkin hadir tanpa tangan dingin Friedrich Silaban, pria kelahiran Bonandolok, Tapanuli Utara, arsitek dari masjid yang diresmikan 44 tahun silam.
Friedrich merupakan anak kelima dari tujuh bersaudara. Ayahnya, Jonas Silaban, merupakan seorang petani. Ia tak lahir di keluarga yang berkecukupan.
Meski demikian, Friedrich kecil mengenyam pendidikan di Hollands Inlandsche School (HIS), Tapanuli Utara, sekolah berbahasa Belanda bagi pribumi terpandang.
Tercatat dalam Biografi Friedrich Silaban Perancang Arsitektur Masjid Istiqlal karya P Simamora dan kawan-kawan, Friedrich bertekad meneruskan pendidikan di sekolah teknik menengah kenamaan, Koningen Wilhelmina School (KWS), usai ia lulus dari HIS.
Berlokasi di Batavia, KWS merupakan sekolah elit yang dikhususkan untuk siswa berkebangsaan Belanda dan pribumi pilihan.
Untuk bersekolah di KWS, calon siswa harus menjalankan tes di Batavia.
Baca juga: Kisah Friedrich Silaban, Anak Pendeta yang Rancang Masjid Istiqlal
Ayah Friedrich berkeberatan akan hal tersebut.
Namun, Friedrich yang keras kepala berangkat seorang diri ke Batavia demi mewujudkan impian bersekolah di KWS.
Tanpa ujian, Kepala Sekolah KWS menerima Friedrich yang memiliki nilai ijazah bagus. Biaya bersekolah Friedrich juga ditanggung oleh beasiswa yang ia peroleh.
Di KWS, Friedrich mengenyam pendidikan di jurusan ilmu bangunan atau yang disebut dengan Bouwkunde.
Disampaikan dalam buku Rumah Silaban terbitan MAAN Indonesia Publishing, Ketertarikan Friedrich akan arsitektur kian terpupuk setelah ia mengunjungi Pasar Gambir, acara tahunan yang digelar di Koningsplein, Belanda sejak 1921 sampai 1946.
Friedrich yang kala itu masih menyandang status siswa di KWS mengunjungi Pasar Gambir pada tahun 1929. Di situ, rasa kagum Friedrich akan skema arsitektur Pasar Gambir tumbuh.
Baca juga: Mengenal Lebih Jauh Arsitek Kebanggaan Indonesia, Friedrich Silaban
Usai lulus dari KWS pada tahun 1931, Friedrich mengunjungi kantor JH Antonisse, arsitek di balik Pasar Gambir.
Ia pun dijadikan pegawai di Departemen Umum, di bawah pemerintah kolonial oleh Antonisse, pada tahun 1947.
Berkat pekerjaan ini, Friedrich kerap melancong ke berbagai negara. Kesempatan ini ia manfaatkan untuk memperlajari kebudayaan dan karya arsitektur di ragam tempat tersebut.