JAKARTA, KOMPAS.com - Banjir menjadi masalah klasik bagi DKI Jakarta di mana nyari setiap tahun masalah yang sama mendera Ibu Kota.
Setiap gubernur di DKI Jakarta punya cerita sendiri perihal banjir, seperti strategi untuk mengatasi persoalan klasik itu.
Berikut cerita dari para mantan Gubernur DKI Jakarta dalam menangani banjir di Ibu Kota.
Baca juga: Cerita Pemerintah Hindia Belanda Habiskan Jutaan Gulden, tetapi Tak Bisa Atasi Banjir Jakarta
Gubernur ketujuh DKI, Ali Sadikin, mengatakan, banjir memang masalah yang merepotkan baginya selama 19 tahun memimpin Jakarta pada 1966-1977.
"Banjir sewaktu saya bertugas sangat merepotkan kita," ujar Ali dalam buku "Bang Ali: Demi Jakarta 1966-1977" karya Ramadhan KH.
Ali menyebut, pihaknya telah menerapkan sejumlah program demi mengatasi banjir di Jakarta.
"Yang bisa saya lakukan hanyalah mengeruk muara-muara sungai, normalisasi sungai dan saluran, pembuatan waduk penampungan air dan pemasangan instalasi-instalasi pompa pembuangan air," paparnya.
Kendati demikian, Ali mengakui program yang ia terapkan tak bisa menyelesaikan masalah banjir secara keseluruhan.
Ia beralasan, sejumlah wilayah di Jakarta lebih rendah dari permukaan laut.
"Tempat-tempat itu ialah di sebelah selatan Banjir Kanal. Tanah Abang, Gunung Sahari, daerah Menteng, Pademangan, Sunter, semuanya lebih rendah dari permukaan laut. Petanya pun sudah ada mengenai ini," urai Ali.
Ali menekankan, Jakarta tidak akan bisa lepas dari banjir apabila tidak mengadakan sistem drainase yang sempurna. Akan tetapi, biayanya mahal.
Biaya yang diperlukan untuk membangun drainase di masa bertugasnya Ali mencapai 800 juta dollar AS.
Sedangkan perhitungan biaya untuk proyek penanggulangan banjir sesuai dengan rencana induk dalam programnya adalah sebesar Rp 500 miliar.
Ali kemudian mengajukan besaran anggaran tersebut kepada Pemerintah Pusat.
Pada tahun anggaran 1975-1976, Pemerintah Pusat mengucurkan dana penanggulangan banjir sebesar Rp 4,2 miliar.
Dengan anggaran tersebut, sejumlah waduk kemudian dibangun yaitu Waduk Setiabudi, Waduk Melati, dan Waduk Pluit.
Tak hanya waduk, beberapa saluran juga dikerjakan seperti Saluran Cakung, pengerukan Kali Cideng, Banjir Kanal, dan Pintu Air Karet sampai Jembatan Gantung Tanah Abang.
Baca juga: BPBD DKI Sebut Status Jakarta Siaga Banjir Pada Kamis Hari Ini
Gubernur DKI periode 1987-1992, Wiyogo Atmodarminto, juga harus memikirkan solusi penanganan banjir.
Pasalnya, menurut Bang Wi, topografi Jakarta yang rendah membuat aliran hulu sungai di wilayah Jawa Barat mengalir ke Jakarta untuk dibuang ke Laut Jawa.
"Sebab, banjir antara lain karena topografi wilayah DKI lebih rendah dari wilayah Jawa Barat. Akibatnya, sungai-sungai yang berhulu di Jawa Barat mengalir ke DKI untuk membuang airnya ke laut Jawa," tulis Bang Wi dalam buku "Catatan Seorang Gubernur" oleh Wiyogo Atmodarminto.
Dia menjelaskan, pada umumnya seharusnya topografi Jakarta, yakni tujuh meter di atas permukaan laut.
Namun, seiring berjalannya waktu, permukaan tanah Jakarta semakin rendah karena berbagai alasan seperti air tanah yang terus diserap warga serta industri hotel dan lainnya.
Dengan demikian, terjadi kekosongan yang menimbulkan rongga pada tanah.
Di masa kepemimpinannya, Pemerintah Pusat punya program dalam upaya penuntasan banjir yang dinamakan Proyek Kali Bersih (Prokasih).