DEPOK, KOMPAS.com - Satgas Penanganan Covid-19 Kota Depok angkat bicara soal selisih atau kesenjangan data kasus aktif/pasien Covid-19 yang kembali terjadi, antara data real-time Pemerintah Kota Depok dengan versi Satgas Penanganan Covid-19 pusat.
"Ini menjadi masalah utama dalam penanganan Covid-19 di Indonesia, padahal data adalah basis utama kebijakan dan dijadikan input perhitungan zona risiko daerah," kata juru bicara Satgas Penanganan Covid-19 Kota Depok, Dadang Wihana, kepada wartawan.
"Bagaimana zona risiko daerah bisa valid hasilnya, jika diambil dari basis data yang salah," lanjutnya.
Baca juga: Selisih Jumlah Pasien Covid-19 Depok Terjadi Lagi, Versi Pemerintah Pusat 89 Persen Lebih Banyak
Sebelumnya, selisih atau kesenjangan data yang lebar sudah pernah terjadi.
Masalah ini sempat dilaporkan oleh Depok sejak Oktober 2020 lalu, namun tak digubris dan isunya mencuat ke permukaan pada awal Januari 2021.
Ketika itu, kasus aktif/pasien Covid-19 di Depok lebih tinggi ketimbang yang dilaporkan oleh Pemprov Jawa Barat maupun Satgas Penanganan Covid-19 pusat.
"Waktu itu sempat rekonsiliasi data dan sempat gap-nya tidak terlalu tinggi. Saat ini terjadi lagi, gap datanya cukup tinggi," ujar Dadang.
Teranyar, dalam konferensi pers kemarin, juru bicara Satgas Penanganan Covid-19 pusat Wiku Adisasmito mengungkapkan kasus aktif Covid-19 di Depok mencapai 7.096 pasien.
Baca juga: Depok Catat 265 Kasus Baru Covid-19, 3 Pasien Meninggal
Padahal, pada Kamis (25/2/2021), jumlah kasus aktif Covid-19 di Depok sebesar 3.740 pasien, sebagaimana dirilis dalam situs resmi Pemerintah Kota Depok.
Selisih itu hampir dua kali lipat, atau jika dikonversi dalam persentase, mencapai 89 persen.
"Masalah ini sudah disampaikan sejak lama, baik ke pusat maupun ke provinsi," ujar Dadang.
"Jadi, saya tuh, meminta kepada satgas pusat untuk konsen terkait data ini. Segera lakukan rekonsiliasi," imbuhnya.
Dadang menganggap sengkarut selisih data ini berbahaya jika tak segera dibereskan. Penanganan pandemi bisa tak akurat di lapangan karena data yang diacu pemerintah pusat dengan keadaan aktual.
"Data ini kan dijadikan input untuk menghitung zona risiko daerah. (Zona) merah atau oranye kan treatment-nya beda. Malau diambil dari basis data yang salah, itu kan tidak update dengan yang ada di daerah," jelas dia.
"Ini sangat berbahaya jika tidak segera diselesaikan."
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.