JAKARTA, KOMPAS.com - Dampak kekerasan seksual pada korban tidak bisa dianggap remeh. Selain mengalami dampak fisik, korban kekerasan seksual juga menyebabkan dampak psikis berkepanjangan.
Bukan tidak mungkin, korban kekerasan seksual mengalami "pemerkosaan tahap dua" setelah peristiwa traumatis yang dihadapkan pada mereka. Hal ini disampaikan oleh Sosiolog Universitas Airlangga Bagong Suyanto.
Pemerkosaan tahap dua, menurut Bagong, adalah tekanan dari masyarakat atau lingkungan sekitar terhadap korban kekerasan seksual.
"Dampak berkepanjangannya kekerasan seksual tidak hanya trauma psikologis ya, tetapi korban bisa mengalami 'pemerkosaan tahap dua' yaitu menjadi korban stigma masyarakat," ujarnya kepada Kompas.com, Rabu (20/12/2021).
Menurut Bagong, banyak masyarakat masih memandang buruk korban kekerasan seksual karena tidak bisa menjaga diri. Parahnya lagi, banyak korban kekerasan seksual dituding sengaja merayu pelaku.
Baca juga: Sosiolog Sebut Kekerasan Seksual oleh Pemuka Agama Sulit Terungkap, Kenapa?
Imbas dari stigmatisasi dan victim blaming ini adalah banyak korban kekerasan seksual kemudian memilih diam dan tidak mengungkap peristiwa yang mereka alami.
"Misalnya kan tuntutan masyarakat, perempuan harus suci, itu dengan cara menjaga kesuciannya," ujar Bagong.
"Ketika ada perempuan yang menjadi korban pemerkosaan, dia lalu terbebani oleh apa yang menjadi harapan masyarakat," sambungnya.
Ini membuat korban kekerasan seksual khawatir jika peristiwa yang dialaminya terkespos ke publik, mereka akan semakin dianggap buruk oleh masyarakat. Korban pun akhirnya memilih diam, dan kasus kekerasan seksual menjadi sulit terungkap.
"Jadi supaya tidak ekspos ke publik. Karena kan mereka tidak mau namanya semakin hancur. Itu yang membuat pelaku seringkali leluasa untuk melakukan aksinya berkali-kali, bertahun-tahun," pungkasnya.
Baca juga: Marak Kasus Pelecehan Anak oleh Pemuka Agama, Pembekalan Kesadaran untuk Anak Penting
Bagong menambahkan bahwa kasus kekerasan seksual oleh pemuka agama cenderung lebih sulit lagi terungkap karena ada anggapan dari bahwa pemuka agama adalah sosok yang sakral dan bebas dari dosa.
“Orang tidak curiga karena kejadiannya melibatkan pemuka agama. Mereke berpikir tidak mungkin pemuka agama melakukan kekerasan seksual, dan itu membuat (pelaku) aman bertahun-tahun".
Selain faktor tersebut, kasus kekerasan seksual oleh pemuka agama sulit terungkap karena ada penutupan kasus yang rapi dan sistematis oleh lembaga agama.
“Karena kasus itu dianggap aib, ada lembaga agama yang memilih untuk menutup-nutupi. Tapi saya kira tidak bisa begitu (…) mau tidak mau harus diproses,” tegas Bagong.
Pernyataan Bagong sejalan dengan laporan khusus yang dibuat oleh The Jakarta Post bersama Tirto.id tahun 2020 lalu.
Baca juga: Kilas Balik Kasus Pelecehan oleh Pemuka Agama di Tangerang, Istri Pelaku Sempat Ancam Korban