JAKARTA, KOMPAS.com - Matahari telah menampakan sinarnya. Namun, Yanto dan ketiga rekannya masih duduk di ruang tamu rumah kontarakan jalan Buncit X, Mampang Prapatan, Jakarta Selatan, Senin (21/2/2022).
Yanto tak dapat memproduksi tempe hingga tiga hari ke depan karena sedang melakukan aksi mogok bersama rekan seprofesi karena imbas harga kacang kedelai yang melambung tinggi.
"Iya kita mogok itu mulai hari Senin ini sampai Rabu, tiga hari," ujar Yanto.
Baca juga: Kala Ratusan Perajin Tempe di Depok Lontarkan Ancaman dan Tuntut Harga Kedelai Distabilkan
Yanto terus menghisap sebatang rokok yang ada di tangan. Sesekali pandangannya tertuju pada sejumlah kayu pencetak tempe yang masih tertumpuk rapi di samping rumah.
Yanto dan ketiga temannya sedang membicarakan soal nasib penjualan tempe yang sudah mereka lakoni lebih dari 40 tahun.
Nasib Yanto dalam produksi tempe bergantung kepada kacang kedelai. Semula harga kedelai pada akhir tahun 2021, berkisar Rp 800.000, kini telah mencapai Rp 1,2 juta per kuintal.
"Meski kenaikan Rp 10 ribu, tapi naik setiap hari. Kan bingung kita jual tempenya," kata Yanto.
Dilema
Saat ini Yanto seakan menelan buah simalakama. Dilema dirasakan, terutama soal harga jual tempe hasil produksi ke pedagang.
Harga jual tempe dinaikan untuk menyesuaikan pendapatan karena biaya produksi yang meningkat sejak harga kacang kedelai meroket.
Namun, satu sisi Yanto juga memikirkan soal penjualan pedagang apabila harga tempe yang didapat olehnya sudah tinggi.
Baca juga: Imbas Aksi Mogok Produksi Perajin, Tahu Tempe Langka di Pasar
"Kalau jual ke pelanggan, mereka kan itu untuk dijual lagi, kalau dari kami sudah mahal, mereka jualnya berapa," kata Yanto.
Yanto sendiri telah manaikkan Rp 1.000 dari harga tempe yang biasa dijual kepada para pedagang. Harga tempe naik imbas harga kacang kedelai di pasaran naik.
"Sejauh ini tempe yang dinaikan itu semula dari Rp 5.000 jadi Rp 6.000, kemudian yang harga Rp 10.000 jadi Rp 11.000," kata Yanto.
Akan aksi di jalan