JAKARTA, KOMPAS.com - Berawal dari kepeduliannya terhadap pendidikan anak yang terpinggirkan, Ajeng Satiti Ayuningtyas (31) menginisiasi Sekolah Kolong Cikini (Sekoci) sejak tahun 2015 seorang diri.
Namun, pada 2020, akhirnya sekolah untuk membantu anak-anak tak mampu itu telah berubah menjadi yayasan dengan kepanjangan yang juga berubah menjadi Sekolah Cinta Anak Muda Indonesia.
"Jadi itu kegiatan belajar-mengajar untuk anak termarjinalkan, pusatnya di Cikini," ujar Ajeng, pendiri Yayasan Sekoci, Jumat (22/4/2022).
Meskipun tidak memiliki latar belakang di bidang pendidikan, Ajeng yang merupakan lulusan Sastra Inggris Universitas Padjajaran (Unpad) itu memiliki perhatian khusus terhadap pendidikan di Tanah Air.
Ajeng mengatakan, dirinya sangat menginginkan pendidikan yang didapatkan anak Indonesia sama rata.
"Saya juga lihat kesempatan mendapat pendidikan yang bagus hanya untuk anak-anak yang sudah mampu. Karena merasa ini untuk semua anak seharusnya," kata dia.
"Kalau jumlah anak di Indonesia 80 juta sekian tidak bisa tercakup, jadinya sudahlah yang mana yang bisa semampuku belajar bareng untuk mendapatkan pendidikan yang sama," lanjut Ajeng.
Ajeng mengatakan, dirinya sangat menginginkan anak-anak yang belajar di sekolahnya merasakan pendidikan yang layak.
Baca juga: Sosok Tri Sugiarti, Pendiri Bank Sampah dan Penghasil Produk Daur Ulang Kertas
Meskipun, mereka yang ikut sekolah di Sekoci terdiri dari yang memang sudah sekolah dan tidak sekolah.
Di Sekoci, kata dia, terdapat 4 kelas dengan rentang usia berbeda. Antara lain kelas A1 seperti PAUD dengan usia 3-5 tahun, A2 usia 5-7 tahun, B1 setingkat SD, dan B2 setingkat SMP-SMA.
"Memang gap (usia) nya jauh karena jumlahnya tadinya banyak, tempatnya di RPTRA, jadi tidak bisa langsung per kelas," kata dia.
Di sekolah tersebut, dia menginisiasi program Mendarat (mendongeng dan belajar santai) dan Berlayar (melakukan field trip yang bersifat edukasi).
Namun, akibat pandemi Covid-19, kata dia, saat ini pihaknya lebih banyak menjangkau anak-anak yang sekolah mengingat adanya pembelajaran jarak jauh (PJJ).
Baca juga: Koalisi Warga Jakarta Minta Anies Tak Lakukan Betonisasi Untuk Atasi Banjir
Pasalnya, kata dia, banyak anak yang kesulitan mendapatkan kuota, mengingat pekerjaan orangtuanya yang penghasilannya sedikit seperti penjual gorengan atau cleaning service.
"Karena pandemi ini, kami tidak bisa melaksanakan program Mendarat sehimgga beralih mendarat dari rumah. Anaknya total 44 anak, tapi karena pandemi ini akhirnya tidak semua punya gawai, hanya sekitar 30 yang ikut," kata dia.