KENAPA sebagian orang kaya, elite dan penguasa seringkali meresahkan dan mengganggu kehidupan orang miskin, kelas bawah dan orang biasa?
Inilah pertanyaan penting saya ketika orang-orang kaya, politisi dan pemodal media mulai hadir di tongkrongan Bonge dan kawan-kawannya di kawasan Dukuh Atas, Jakarta.
Beberapa hari ini publik heboh soal Baim Wong dan Indigo yang mendaftarkan Citayam Fashion Week (CFW) sebagai hak kekayaan intelektual (HAKI).
Barangkali tidak hanya dua orang ini. Mengingat keberadaannya sudah menjadi pusat mode, objek berita dan konten media sosial yang diminati jutaan penonton serta lokasinya di pusat kota Jakarta, pasti banyak orang yang serakah berpikir tentang keuntungan di sana.
Hanya dengan memanfaatkan CFW mereka bakal dapat keuntungan kapital, sosial, bahkan politik tanpa modal sama sekali.
Lihat saja orang-orang yang hadir ke CFW satu minggu terakhir ini. Ada politisi, sosialita, pelaku dunia hiburan yang ingin meraup viral lewat CFW. Dalam beberapa hari terakhir bahkan jalan sudirman itu tumpah ruah dan padat oleh manusia.
Siapa yang tidak tergiur untuk monopoli keramaian seperti itu. Orang-orang pasti tahu.
CFW berasal dari tongkrongan anak-anak remaja pinggir kota, asal keluarga sederhana dan umumnya remaja putus sekolah. Kian hari tongkrongan itu kian ramai. Hingga muncul semacam ‘perlawan’ terhadap status sosial orang kaya Jakarta.
“Perlawanan” itu dimulai dengan plesetan munculnya istilah SCBD yang awalnya merujuk pada pusat bisnis di Sudirman, berubah sebutan komunitas remaja jalanan.
SCBD tidak lagi membawa horison elite dan kaya, melainkan remaja pinggir kota, kreatif, fesyen dan pergaulan remaja.
SCBD bukan lagi merujuk Sudirman Central Business District, melainkan Sudirman Citayam Bojonggede dan Depok, daerah para remaja itu berasal.
Bonge, Kurma, Roy dan Jeje adalah tokoh yang mucul di SCBD baru ini. Remaja pinggir kota yang berasal dari kelas bawah ini tidak hanya telah menciptakan dunia mereka sendiri tentang fesyen dan kreatifitas, melainkan juga telah diterima dan diapresiasi oleh masyarakat secara luas.
Kehadiran anak-anak SCBD di ruang terbuka jalan Sudirman ini telah mendorong lahirnya konten kreatif baru dengan cara sederhana seperti Tumere.
Tontonan remaja Indonesia yang mayoritas miskin tidak lagi terbatas pada konten-konten prank tak guna, gaya hidup seleb, kasus kawin-cerai atau nikah-lahiran yang disiarkan.
Kini banyak remaja terinspirasi untuk tampil menjadi model jalanan di berbagai kota di Indonesia.