JAKARTA, KOMPAS.com - Warga Pulau Pari, Kabupaten Kepulauan Seribu, DKI Jakarta, merasakan dampak perubahan iklim yang nyata. Salah satunya adalah banjir rob yang semakin sering terjadi setiap tahun.
Edi (37), warga Pulau Pari, menyaksikan, kenaikan permukaan air laut yang masuk ke daratan jarang terjadi 20 tahun lalu. Namun, banjir rob terjadi semakin sering sejak awal tahun 2000-an.
”Setahun bisa 18-15 kali, kalau ada musim (angin monsun) timur dan barat. Setiap musim paling enggak delapan kali banjir. Apa yang terjadi saat ini lebih parah daripada tahun-tahun sebelumnya,” kata Edi yang hadir dalam konferensi pers di Kantor Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Jakarta, Selasa (20/9/2022).
Hari itu, ia mewakili warga Pulau Pari dan membahas isu krisis iklim yang dialami masyarakat di pulau kecil.
Banjir rob pun disebut sebagai salah satu dampak dari perubahan iklim yang kini semakin mengkhawatirkan.
Baca juga: Bebas dari Dakwaan Pungli, Warga Pulau Pari Tuntut Ganti Rugi
Akhir tahun lalu, Desember 2021, enam titik di Kelurahan Pulau Pari terkena banjir rob.
Ketinggian air laut mencapai 50 sentimeter hingga 1,3 meter terjadi sejak pukul 08.00 hingga 10.50 WIB, dikutip dari berita di situs resmi Pulauseribu.jakarta.go.id.
”Saat banjir rob, air masuk sumur yang dipakai untuk mandi dan minum sehingga enggak bisa dipakai karena terkontaminasi air laut. Banjir rob juga berdampak ke lokasi wisata, seperti Pantai Pasir Perawan. Ini sensitif, wisatawan bisa ketakutan dengan peringatan dini,” ujarnya.
Sejauh ini, warga hanya mampu meninggikan rumah dan tempat usaha mereka agar banjir tidak masuk sampai ke dalam rumah.
Untuk jangka panjang, ia melihat, penanaman lebih banyak bakau atau mangrove menjadi solusi.
Baca juga: Bocah Tenggelam di Ciliwung, Jenazahnya Ditemukan di Perairan Pulau Pari
Selain masalah banjir rob yang semakin sering, perubahan iklim juga membuat nelayan terdampak.
Mustaghfirin alias Bobby, Ketua Forum Peduli Pulau Pari, menceritakan, nelayan juga menjadi semakin sulit melaut dan mencari ikan.
”Sekarang alam sering berubah mendadak. Contoh, kami sudah berangkat naik perahu 16 mil ke timur, tahu-tahu kejebak angin. Kalau dulu enggak ada, sekarang tahu-tahu ada angin. Saya hampir tenggelam karena awalnya prediksi angin biasa, ternyata cuaca ekstrem,” tuturnya.
Faktor iklim membuat nelayan semakin tidak produktif mencari ikan.
Dua bulan terakhir saja, ia tidak mampu menutupi modal melaut.