JAKARTA, KOMPAS.com - Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) meyakini pemerkosaan terhadap remaja berusia 13 tahun di Hutan Kota Rawa Malang di Semper Timur, Cilincing, Jakarta Utara, bukanlah peristiwa tunggal.
Komisioner KPAI Jasra Putra berpandangan keyakinan itu timbul lantaran pelaku dan korban disebut sudah saling mengenal sebelumnya. Hal itu, kata Jasra, disebut dipicu oleh rape culture.
Pasalnya, Jasra menyebutkan, pergaulan yang berbau rape culture juga sering menempatkan pelaku menjadi merasa bisa mengontrol, menganiaya, dan melakukan perilaku agresif seperti pemaksaan dan perilaku kasar di depan umum.
Pada kondisi itu, Jasra mengatakan pelaku menganggap fisik korban layak dan menjadi alasan diperlakukan kekerasan. Selain itu, korban juga dianggap oleh pelaku layak mendapat perlakuan dengan berbagai stigma sebagai alasan untuk membenarkan pelaku.
"Tentu, jika ini yang terjadi di lingkungan korban, ada tugas berat kita bersama melakukan penyadaran di masyarakat setempat, termasuk edukasi keluarga," ujar Jasra kepada , dikutip Rabu (21/9/2022).
Dalam kasus anak, Jasra menilai pengkajian secara keseluruhan menjadi penting untuk mencari tahu apa yang menyebabkan peristiwa terjadi. Menurut dia, ada situasi yang perlu di perdalam kasus ini lantaran anak bukan subyek hukum.
"Ada latar belakang melakukan itu, seperti bagaimana pola pengasuhan? Apakah mereka sekolah misalnya? Selama ini apa ditelantarkan?" ujar Jasra.
Terlebih, kata Jasra, status pelaku merupakan anak berhadapan hukum (ABH) karena masih di bawah 14 tahun. Lalu, penting juga mengetahui apa saja yang sedang dilakukan dalam intervensi anak dengan status ABH dan bagaimana pandangan awal orangtua kepada ABH anaknya.
Baca juga: Buntut Pemerkosaan Remaja di Cilincing, Pemprov DKI Diminta Pasang CCTV di Hutan Kota
Selain itu, penting juga mengetahui apakah status pelaku membentuk stigma baru, sehingga tidak peduli dengan kondisi anak. Kemudian, apakah situasi tersebut sudah di-assesment sebelumnya dengan anak berstaus ABH. Lalu, sejauh apa peristiwa hukum sebelumnya, sehingga anak dikembalikan kepada orang tua.
"Situasi anak ABH dan jaminan apa anak tidak mengulangi perbuatannya, tentu menjadi perhatian kita bersama," ujar Jasra.
Adapun kronologi kasus ini bermula saat korban pulang sekolah dan bertemu dengan keempat pelaku di hutan kota di Jakarta Utara (Jakut) pada 1 September 2022.
Salah satu ABH meminta korban untuk menjadi kekasihnya, namun korban menolak. Esok harinya, keempat pelaku yang sudah mengincar korban, lalu melakukan tindakan kekerasan seksual.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.