APA yang menarik dari banyak kasus kekerasan atau pembunuhan yang melibatkan seseorang dengan perilaku kejahatan yang ekstrem adalah penyebutan kepribadiaannya sebagai sesuatu yang tak lazim.
Sebutan psikopat, sosiopat, atau gangguan kepribadian antisosial yang justru akan memberikan bahan pembelaan diri.
Para pelaku ada yang secara sengaja melakukan perilaku bertentangan dengan perilaku jahatnya, dengan tujuan memanipulasi sangkaan atau persepsi.
Tujuannnya jelas mengaburkan motif kejahatan untuk melawan logika normal ke ranah psikologis yang diduga akan dapat meringankan tindak kejahatan, atau menjadi alibi-meloloskan tuduhan.
Atau dalam realitas yang tidak dimanipulasi, perilaku itu memang perilaku sebenarnya dari seorang psikopat atau sosiopat.
Seperti yang ditunjukkan oleh tokoh Hannibal Lecter sang pembunuh berantai dalam The Silence of the Lambs.
Debat ini mengemuka dalam kasus kematian AYR (36) ketika “senyum si pembunuh” terekam CCTV.
Secara sepihak kita menyimpulkan si pelaku “mengidap kelainan spiskologis” karena bersikap normal dan seolah senang karena mission accomplished-sukses membunuh. Di sisi lain, juga bisa dipicu dari perlakuan korban terhadap pelaku.
Gambaran sikap itu kurang lebih seperti ketika seseorang marah dan kemudian pitam. Atau perilaku tantrum pada anak, ditandai ekspresi frustrasi atau amarah yang diungkapkan anak saat ia menghadapi masalah.
Dalam tahapan itu, psikologisnya akan terganggu. Antara kesadaran telah melakukan kejahatan, dan kebingungan atas perilaku dan konsekuensinya seperti malu atau justru sinis dan bingung.
Jika sedari awal pelaku telah kita sangkakan secara psikologis mengalami gangguan, justru akan menjadi alibi menguntungkan bagi si pelaku.
Begitu juga saat dikoordinasikan dengan psikiater untuk memastikan kondisi kejiwaan, jika terbukti benar, dapat menjadi “senjata” pelaku memanipulasi kondisi spikologisnya.
Apalagi dalam kasus pelaku psikopat atau sosiopat yang lihai seperti halnya Hannibal Lecter, atau pelaku berkepribadian ganda yang kita kenal dalam film Dr Jekyll dan Tuan Hyde dalam novel penulis Skotlandia Robert Louis Stevenson (1886).
Menurut Margaretha, dosen psikologi forensik, Fakultas Psikologi Universitas Airlangga, Surabaya, muasalnya bisa dijelaskan dari pemahaman tentang definisi kejahatan, sebagai perilaku pelanggaran aturan hukum, baik langsung maupun tidak langsung.