JAKARTA, KOMPAS.com - Kebiasaan mengonsumsi berulang kali hingga membuang minyak dari sisa menggoreng atau minyak jelantah belum bisa lepas dari kehidupan sehari-hari masyarakat.
Padahal, kandungan lemak jenuh yang tinggi dalam minyak jelantah itu buruk bagi tubuh jika terus dikonsumsi. Sementara, minyak bekas yang dibuang sembarangan juga akan mencemari lingkungan.
Keresahan itu muncul dalam benak Rumah Sosial Kutub hingga akhirnya mereka menginisiasi gerakan sedekah minya jelantah lewat program Terima Sedekah Minyak Jelantah untuk Mereka (Tersenyum).
Manajer Program Tersenyum Nanang Ardiansyah berujar, dengan adanya sedekah minyak jelantah ini bisa mengubah persepsi masyarakat bahwa berbagi itu tak perlu berupa harta.
"Kami terpikirkan menggunakan barang yang sudah tidak dipakai lagi. Bahkan kalau dibuang justru menyebabkan pencemaran lingkungan," ujar Nanang kepada Kompas.com, Selasa (29/11/2022).
Dari pemikiran itu, kata Nanang, Rumah Sosial Kutub terpikir untuk menginisiasi gerakan sedekah minyak jelatah dengan mengusung konsep bahwa sedekah ini mudah, murah, dan berkelanjutan.
Nanang menjelaskan, sedekah minyak jelantah dianggap mudah karena barang yang disedekahkan itu ada dalam kehidupan sehari-hari, yaitu berupa limbah dari dapur.
Kemudian, masyarakat bisa sedekah tanpa harus mengeluarkan uang mereka sendiri. Bisa dikatakan, ujar Nanang, sedekah ini murah dan bisa dijangkau hampir seluruh rumah tangga.
Terakhir, sedekah ini diyakini akan berkelanjutan. Menurut Nanang, selama ibu rumah tangga masih memasak di dapur, limbah minyak goreng itu akan selalu ada.
Saat ini, Nanang menyebutkan rata-rata minyak jelantah yang berhasil dikumpulkan itu sebanyak 27-30 ribu liter per bulan. Dari situ, minyak jelantah itu akan dikonversi untuk produksi biodiesel dengan harga jual fluktuatif sekitar Rp7.000-10.000 per liter.
"Dana hasil konversi itu akan dikembalikan ke wilayah yang mengumpulkan dan dikelola kader dalam bentuk program sosial masyarakat dan pemberdayaan lingkungannya," tutur Nanang.
Baca juga: Menengok Wajah Baru TMII yang Kini Lebih Ramah Lingkungan
Nanang menjelaskan, gerakan ini sebetulnya sudah dimulai sejak 2018. Saat itu, sedekah jelantah ini menjadi progam Rumah Sosial Kutub yang berlokasi di Jalan Langga Raya Nomor 2, Lenteng Agung, Jakarta Selatan.
Adapun gerakan sedekah ini bersamaan dengan berdirinya Rumah Sosial Kutub yang memiliki tugas utama menerima, menyalurkan kembali dana infaq, sedekah, dan wakaf dari masyarakat.
Rumah Sosial Kutub ini berdiri bersamaan dengan Komunitas Tahajud Berantai (Kutub) yang diawali para anggota dari Jakarta, Bogor, Depok, dan Bekasi (Jabodetabek).
"Pada saat itu, pengumpulan minyak jelantah masih berbasis relawan atau individu. Gerakannya belum masif," ujar Nanang.
Pada Februari 2020, Rumah Sosial Kutub akhirnya meluncurkan program Tersenyum di Jakarta Selatan bersama Wali Kota Jakarta Selatan yang saat itu dijabat oleh Marullah Matali.
Baca juga: Tingkat Polusi Ibu Kota Masih Tinggi, Dinas Lingkungan Hidup Bentuk Forum Kualitas Udara
"Relawan kami yang semula berjalan sendiri-sendiri, kini menjadi perpanjangan tangan di wilayah mereka. Relawan ini membantu menghubungkan dengan kader setempat," kata Nanang.
Selain digandeng oleh pemerintah kota di lima wilayah, gerakan sedekah jelantah ini juga didukung oleh Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta. "Program ini jadi salah satu program unggulan mereka," tutur Nanang.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.