KAMPUNG Susun Bayam secara fisik sudah siap huni sejak diresmikan oleh Gubernur Anies Baswedan pada 12 Oktober 2022 lalu. Namun hingga Rabu (7/12/2022), sebanyak 123 keluarga warga eks penghuni kampung Bayam tidak terdengar bisa masuk ke Kampung Susun Bayam.
Penyebabnya belum tercapai kesepakatan tentang harga sewa antara PT Jakarta Propertindo (Jakpro) sebagai pihak pengembang dengan warga yang sudah terdaftar sebagai penghuni Kampung Susun Bayam.
Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta mendirikan stadion olahraga megah Jakarta International Stadion (JIS) di kampung Bayam dan oleh karenanya sebagian warga akan direlokasi ke Kampung Susun Bayam.
Semula Jakpro (BUMD) menetapkan biaya sewa sebesar Rp 1,5 juta per bulan sesuai dengan perhitungan biaya keekonomian. Namun warga menolak karena biaya sewa itu terlalu tinggi.
Kemudian biaya sewa diturunkan menjadi antara Rp 600.000-Rp 700.000. Perhitungan ini didasarkan pada Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 55 Tahun 2018 tentang Penyesuaian Tarif Retribusi Pelayanan Perumahan.
Harapan warga adalah biaya sewa tidak jauh berbeda dengan biaya sewa di Kampung Susun Akuarium, yang mirip kasusnya dengan Kampung Susun Bayam.
Di Kampung Susun Akuarium, warga membentuk Koperasi Akuarium Bangkit Mandiri dan menyewa dua blok bangunan ke Pemprov DKI Jakarta sebesar Rp 216 juta selama lima tahun.
Dengan jumlah anggota sebanyak 103 keluarga, biaya sewa hanya Rp 34.000 per bulan. Warga pun masuk ke Kampung Susun Akuarium hanya dua hari setelah diresmikan pada 17 Agustus 2021.
Yang menjadi pertanyaan, mengapa model pembiayaan ala Kampung Susun Akuarium itu tidak diterapkan untuk Kampung Susun Bayam sejak awal, agar tidak menggantung seperti sekarang ini, yang menambah lama penderitaan warga.
Agaknya kasus ini cukup pelik karena melibatkan banyak kepentingan dan keterbatasan sehingga memerlukan solusi yang khusus.
Pembangunan kampung susun merupakan salah satu upaya perbaikan kampung yang dilaksanakan Pemprov DKI sejak puluhan tahun lalu.
Program perbaikan kampung MH Thamrin 1969-1974, dikenal berhasil mengubah wajah kampung-kampung di Jakarta, yang sebelumnya tidak tertata menjadi teratur dan lebih sehat.
Berbagai sarana permukiman dasar seperti jalan, air bersih, gorong-gorong, WC umum dsb, dibangun di tengah-tengah pemukiman padat penduduk.
Keberhasilan program ini membuatnya dilanjutkan pada tahun-tahun berikutnya, dan direplikasi di kota-kota lain, bahkan di negara-negara berkembang lain.
Namun perkembangan kota Jakarta yang semakin pesat menuntut dilaksanakannya juga pembangunan hunian secara vertikal, selain perbaikan kampung horizontal.