DRAMA seri Kupu-kupu Malam yang ditayangkan di salah satu platform menonton daring, kini tengah menjadi bahan perbincangan di masyarakat.
Drama tersebut menceritakan tentang seorang mahasiswi yatim piatu yang harus berjuang mencukupi kebutuhan hidupnya dan adik laki-lakinya dengan bekerja menjadi pelayanan di salah satu restoran.
Kondisi semakin tidak menentu di mana adiknya membutuhkan biaya perawatan kesehatan yang tidak sedikit membuat sang kakak terpaksa menjadi Pekerja Seks Komersial (PSK) untuk menambah penghasilan dari pekerjaannya sebagai pelayan restoran.
Tingginya antusiasme masyarakat untuk menonton drama seri ini dapat dilihat dari jumlah perolehan penonton yang menembus angka 4 juta penonton pada minggu pertama rilis.
Seiiring dengan jumlah penonton yang terus bertambah, drama seri Kupu-kupu Malam juga kembali memicu diskusi panjang terkait keberadaan prostitusi dengan segala latar belakang pemicunya di Indonesia.
Lantas bagaimanakah Negara harus menempatkan diri dalam persoalan keberadaan prostitusi?
Keberadaan prostitusi dalam catatan sejarah telah ada, bahkan sebelum Socrates memulai dialektika terkait “apa itu keadilan” dengan para pengikutnya.
Menurut Nils Johan Ringdal dalam bukunya Love For Sale: A World History of Prostitution dijelaskan bahwa praktik prostitusi telah ada sejak 5.500 – 4.000 tahun sebelum Masehi di wilayah Mesopotamia.
Praktik prostitusi di Indonesia telah ada sejak zaman kerajaan-kerajaan kuno menguasai Nusantara yang ditandai dengan keberadaan selir bagi para Raja.
Prostitusi kemudian berkembang menjadi industri yang mendapatkan tempat tersendiri secara legal oleh Pemerintah Kolonial Belanda pada 1852.
Pascakemerdekaan Indonesia tahun 1945, bangsa Indonesia pada faktanya belum seutuhnya merdeka dari praktik prostitusi di masyarakat.
Kendati beberapa ketentuan di dalam KUHP melarang penyediaan jasa prostitusi seperti Pasal 295, 296, 297, dan 506, namun jerat pidana nyatanya tidak menyurutkan praktik prostitusi di Indonesia.
Hal tersebut mendorong terciptanya serangkaian kebijakan yang dibuat oleh Pemerintah, salah satunya dengan kebijakan lokalisasi.
Pada masa kepemimpinan Gubernur Ali Sadikin, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menempuh kebijakan merelokasi sejumlah PSK yang tersebar di beberapa titik di Jakarta ke daerah Kramat Tunggak, Jakarta Utara.
Kebijakan lokalisasi tersebut ditempuh Ali Sadikin untuk mengefektifkan pengawasan terhadap prostitusi yang selama ini dilakukan secara senyap.