JAKARTA, KOMPAS.com - Fitri (42), salah satu warga Rorotan menceritakan bagaimana situasi mencekam usai lahan seluas 25 hektar dijadikan Pemprov DKI Jakarta sebagai tempat pemakaman khusus jenazah korban Covid-19.
Fitri yang rumahnya hanya berjarak sekitar 20 meter dari pintu masuk TPU Rorotan, Cilincing, Jakarta Utara itu tidak menampik bahwa saat itu situasinya sangat menakutkan bagi warga setempat.
"Karena ambulans banyak banget. Tiap berapa menit sekali, bunyi (sirene). Orang sini, yang tadinya enggak sakit, jadi ikut sakit. Takut banget dan mencekam," ungkap Fitri saat ditemui Kompas.com di rumahnya, Jalan Rorotan IX, Rorotan, Cilincing, Jakarta Utara, Selasa (21/3/2023).
Baca juga: Kini Fitri Kantongi Rp 3,5 Juta Per Hari dari Jual Kembang di TPU Rorotan...
Karena bunyi sirene ambulans tersebut, warta setempat termasuk Fitri, komplain kepada pihak rukun tetangga (RT) hingga rukun warga (RW).
Mereka meminta agar sopir ambulans tidak menyalakan sirene saat masuk ke kawasan Rorotan.
"Kan dari sana sudah mulai kedengaran, di Malaka. Semua itu komplain. (Ambulans) sampai dialihkan lewat BKT (Banjir Kanal Timur) atas. Instruksinya begitu," kata Fitri.
Menurut Fitri, bunyi sirene ambulans membuat mentalnya jatuh. Terlebih, ambulans tersebut sampai mengantre di depan rumahnya saat hendak mengantarkan jenazah pasien Covid-19 ke liang lahad.
Baca juga: 2 Tahun Pandemi, 25 Hektar Lahan di TPU Rorotan Jadi Permakaman Khusus Covid-19
"Jam 11.00 WIB saja sudah antre 100 ambulans. Petugas saja ada yang sampai cari kantong mayat di sini," tutur Fitri yang merupakan penjual warung kelontong.
Belum sempat petugas tersebut masuk ke area warung kelontongnya, Fitri menyetopnya di depan rumah.
"Jadi, orang-orang yang pada mau belanja ke sini, kalau dia masih pakai baju APD, saya setop di situ, enggak boleh, sama saya enggak boleh masuk. Suasananya bagaimana gitu, mengerikan," ungkap Fitri.
Imbas adanya TPU Rorotan membuat warung kelontong Fitri menjadi sepi pembeli karena pelanggan takut melihat mobil ambulans.
"Sampai saya teleponin langganan saya. 'Kenapa enggak ada yang ke sini?', 'Takut bu, banyak ambulans'. Kayak begitu. Yang tadinya langganan saya banyak, sampai anjlok," ucap Fitri.
Ketika kondisi saat itu terasa mengimpit, Fitri berpikir bahwa hidup harus tetap berjalan. Ia harus menghidupi tiga anaknya, yang dua di antaranya tengah mengemban pendidikan di pondok pesantren.
Fitri kemudian mencoba berjualan pakaian dan memasarkannya melalui media sosial. Sayangnya, usaha tersebut tidak membuahkan hasil maksimal.
Uang yang didapatkan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari Fitri dan keluarga.