Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tanggul, Pemicu, dan Audit Teknologi

Kompas.com - 01/04/2009, 05:01 WIB
 

KOMPAS.com - Menjelang ”pesta demokrasi” pemilu legislatif, Banten menangis, Jakarta menangis, Indonesia menangis. Hingga hari Senin (30/3) sudah 98 orang kehilangan nyawa dan 102 orang tak ketahuan nasibnya, menyusul jebolnya tanggul Situ Gintung, Cirendeu, Tangerang Selatan.

Bencana, kecuali gempa dan angin topan, sebenarnya tidak terjadi tiba-tiba. Bencana seperti longsor dan banjir selalu membawa pertanda sebelumnya. Korban menjadi banyak ketika mitigasi tidak dilakukan dalam bentuk antisipasi dan prevensi. Sebelum Jumat subuh itu, kata Situ Gintung berkonotasi rekreatif: kolam renang, lokasi berpetualang (adventure camp), dan rumah makan.

Situ tersebut memiliki daerah tangkapan air seluas 112,5 hektar; dari kawasan itulah situ mendapat suplai air di samping mata air asli. Kondisi permukaannya, seperti diungkapkan Kepala Bidang Mitigasi Bencana Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Sutopo Purwo Nugroho, kini berupa permukiman (39,7 persen), tegalan (22,8 persen), badan air (17 persen), kebun (18 persen), rumput atau tanah kosong (4,5 persen), dan gedung (0,6 persen).

Dari kondisi permukaan itu, yang mampu menyerap air adalah tegalan, badan air (yaitu situ atau saluran irigasi), kebun, dan rumput atau tanah kosong.

Pada situ seluas 21,4 hektar tersebut hanya ada satu spillway (saluran buang) selebar kira-kira 5 meter dan dua saluran irigasi yang lebarnya sekitar 1 meter, yang menurut Sutopo saat itu tidak bekerja optimal.

Jika curah hujan besar, kecepatan aliran air melalui saluran buang akan tidak memadai sehingga ada kemungkinan terjadi limpasan (overtopping), bahasa awamnya luberan.

Menempel pada bagian luar tanggul adalah permukiman padat, mulai dari kaki tanggul, terletak di bawah tanggul sekitar 15-20 meter. Sungguh rawan karena bisa terkena longsoran tanggul. Mestinya, minimal 100 meter dari kaki tanggul tidak boleh ada bangunan. Permukiman itu mengurangi lebar saluran air dari semula 5-7 meter kini tinggal 1 meter. Kondisi ini berpotensi menambah beban air pada situ karena air tidak tersalur ke luar.

Kemungkinan penyebab

Menurut peneliti dari Pusat Bencana Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya, Amien Widodo, ada tiga faktor penyebab bencana. Ketiga faktor itu adalah faktor internal (kondisi tanggul), faktor eksternal (bencana lain seperti gempa, longsor, dan hujan besar), dan faktor manusia (pembangunan sekitar tanggul, pembabatan hutan, dan sebagainya).

Di sekitar Situ Gintung sudah sejak lama tak ada hutan. Saat itu pun tak terjadi gempa. Dari data Sutopo yang didapatnya saat melakukan kajian kualitas air dan pemanfaatan air situ untuk waduk resapan 5 Desember 2008, pada bagian tanggul yang jebol Jumat lalu telah didapati erosi buluh (piping). Erosi itu diduga sudah lama terjadi karena muncul mata air di bawah tanggul. Rembesan air ke dalam kapiler retakan menyebabkan kapiler bertambah besar. Akibatnya, terjadi deformasi struktur saluran buang.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com