Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dari Nenek sampai Cucunya Bermukim di Stasiun Tanjung Priok

Kompas.com - 14/04/2009, 08:31 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com — Tanjung Priok lekat dengan terminalnya yang hiruk-pikuk. Tanjung Priok tak bisa dilepaskan dengan pelabuhannya. Tetapi, hampir luput bahwa di Tanjung Priok ada stasiun bersejarah yang menyimpan kejayaan Hindia Belanda, di mana dari bangunan itu terhubunglah akses Tanjung Priok Batavia yang aman.

Sembilan tahun terakhir bangunan itu tidak terjamah. Meskipun demikian, stasiun yang dibangun tahun 1914 ini seakan tak acuh terhadap perubahan suasana di sekitarnya. Tidak peduli dengan teriknya hawa di pinggir pantai Tanjung Priok, kerasnya kehidupan pelabuhan yang sudah dikapling oleh para preman, hilir mudiknya kendaraan besar mengangkut kontainer hingga semrawutnya bus-bus besar yang mengangkut ribuan warga Jakarta tiap harinya.

Tapi siapa tah, bahwa di dalam Stasiun yang dibangun pada masa Gubernur Jendral AFW Idenburg (1909-1916) berdetak denyut kehidupan kalangan masyarakat bawah. Denyut penduduk Jakarta, warga negara Indonesia, yang katanya dipelihara oleh negara.

"Ini anak saya, bisa besar dan sehat kan?" kata Mia sambil menunjuk bocah yang tengah terlelap dalam ayunan kain. Anak itu terbangun dan diangkat Mia dari dalam ayunan selendang batik coklat yang diikat tali kuning pada cagak kayu yang kuat. Ayunan itu berada di peron Stasiun Tanjung Priok sebelah barat.

Mia begitu bangga dengan Rangga yang dibesarkan dari kekurangan. "Suami saya kerja buruh. Dalam sehari paling banyak bisa membawa uang Rp 20.000," kata ibu 3 anak itu.

Rangga adalah anak bungsunya, dan dua yang lain diasuh oleh ibu Mia. Suasana stasiun yang selama ini kumuh sudah akrab dengan Mia. "Saya sudah 13 tahun di tempat ini," katanya tanpa beban.

Sekalipun demikian, ia mengaku pasrah dengan kebijakan Kepala Stasiun Tanjung Priok yang meminta mereka yang meninggalkan wilayah stasiun. "Kalau sudah diresmikan jangan di sini lagi, ya?" kata Mia menirukan perkataan kepala stasiun, yang saat ini dijabat oleh Muhammad Basyir.

Ia pasrah mendengar permintaan tersebut. "Paling-paling, kami tidur di emperan toko," katanya ringkas.

Sikap serupa juga tecermin dari Eti (30), tunawisma lain yang siang itu sedang menikmati embusan angin yang menyapu panasnya Priok. "Kata mertua saya, hal ini sudah biasa. Kalau ada kereta disuruh keluar, tapi kalau sudah tidak ada kereta masuk lagi dan tidur di stasiun di kala malam," kata Eti.

Saat ditemui, Eti sedang menggendong anaknya yang baru berumur dua minggu. Raka, nama anak itu, tampak memprihatinkan. Badannya tampak kurus. Mukanya penuh dengan bentol-bentol merah karena gigitan nyamuk yang tidak kenal siang atau malam. Kulit ari di mukanya terkelupas seperti ganti kulit. "Ya, beginilah kondisinya kalau hidup ngegembel," kata Eti sambil menembang untuk menidurkan Raka.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com