Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tiket Museum Lebih Murah Dibanding Masuk WC Umum

Kompas.com - 30/08/2012, 10:17 WIB
Galih Prasetyo

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com — Bangsa yang besar dan berperadaban merupakan bangsa yang menghargai sejarahnya. Apakah Indonesia cukup bisa dikatakan demikian, mengingat banyak museum—yang tak lain bukti dari peninggalan sejarah—telantar seolah hidup sebagai yatim piatu? Hal ini tak terkecuali pada Museum Bahari yang terletak di Jalan Pasar Ikan 1, Penjaringan, Jakarta Utara.

Mendengar "Bahari", kata itu identik dengan perairan laut. Indonesia dikenal sebagai negara maritim. Pasalnya, perairannya saja seluas 3.257.483 km persegi ketimbang luas daratan yang hanya 1.922.570 km persegi. Total wilayah Indonesia yang di antara Samudra Hindia dan Samudra Pasifik ini membentang hingga sepanjang lebih dari 6.400 km.

Museum Bahari sekurangnya melukiskan identitas bangsa kita yang nenek moyangnya konon pelaut. Entah mengapa kondisi Museum Bahari saat ini mengenaskan. Berdasarkan pantauan Kompas.com di lokasi, museum yang dibangun pada tahun 1652 itu sudah amat tidak terawat dan terabaikan.

Konstruksi bangunan didominasi balok-balok besar kayu jati, terutama fondasi. Kerap terlihat, kayunya menjadi santapan rayap sehingga mendekati keropos penuh lubang, begitu juga sejumlah jendela dan pintu. Dindingnya pun yang rata-rata setebal 90 sentimeter terlihat bergelembung.

Museum yang memiliki tiga lantai tersebut memuat sejumlah koleksi sejarah kelautan, termasuk sekian kapal dan perahu-perahu kuno niaga. Namun sangat disayangkan, mudah sekali menemukan benda-benda dalam kondisi tidak utuh lagi. Koleksi lainnya antara lain miniatur kapal, kapal asli, alat navigasi, alat menangkap ikan, lukisan pahlawan, dan dokumen pelayaran VOC. Setiap sudut bangunan terlihat berdebu, kotor, dan kusam.

Kepala Seksi Edukasi dan Pameran Museum Bahari Irfal Guci menceritakan, Museum Bahari seluas 7.500 meter persegi memiliki 850 koleksi. Namun, tidak semuanya dalam kondisi asli. Gedung yang baru diresmikan pada 7 Juli 1977 sebagai museum itu awalnya diperuntukkan bagi pemerintah kolonial Hindia-Belanda untuk menyimpan rempah-rempah atau biasa disebut gedung rempah barat. Peresmian dilakukan oleh Ali Sadikin yang saat itu menjabat Gubernur DKI Jakarta.

Gedung dibangun dalam tiga tahap, yaitu tahun 1718, 1773, dan 1774. Pasca-kemerdekaan, gedung digunakan sebagai kantor telekomunikasi yang dikelola PT Telkom, sampai akhirnya kepemilikan jatuh ke tangan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Irfal berpendapat, persoalan yang dihadapi terkait pola manajemen yang akhirnya memengaruhi pola pendanaan. Museum beserta koleksinya butuh dana dan sumber daya manusia yang memadai dalam rangka perawatan.

"Persoalannya, manajemen harus diubah. Selama di bawah pemerintah, tidak ada progres. Bayangkan, museum ini hanya diurus enam orang (termasuk pimpinannya). PNS-nya hanya ada enam orang. Pekerja lepas tiga orang. Kalau manajemennya diubah, saya kira tampilannya akan berubah. Kalau manajemennya tetap begini, saya kira tak akan berkembang," kata Irfal Guci kepada Kompas.com saat ditemui di ruang kerjanya di Jalan Pasar Ikan 1, Penjaringan, Jakarta Utara, Kamis (30/8/2012).

Anggaran perawatan koleksi museum hanya Rp 20 juta per tahun. Sementara itu, regulasi yang mengatur mekanisme penerimaan bantuan dari pihak swasta belum tersedia. Oleh karenanya, upaya perawatan hanya mampu dilakukan secara parsial. Khusus menyoal biaya perawatan, hal itu baru bisa dimasukkan dalam anggaran pada 2013.

Sementara itu, harga tiket Museum Bahari terbilang murah meriah. Biaya memasuki WC umum lebih mahal ketimbang berkunjung ke museum. Harga tiket apabila masuk ke Museum Bahari seperti tertera di papan pengumuman adalah: perorangan dewasa Rp 2.000, rombongan dewasa (minimal 20 orang) Rp 1.500, mahasiswa perorangan Rp 1.000, rombongan mahasiswa (minimal 20 orang) Rp 750, pelajar Rp 600, pelajar rombongan (minimal 20 orang) Rp 500.

Harga tiket tersebut berdasarkan Perda Nomor 1 Tahun 2006. Adapun bagi yang ingin menggunakan jasa pemandu museum dikenai biaya Rp 35.000 untuk pemandu lokal dan Rp 75.000 untuk pemandu berbahasa asing. Museum dibuka pada Selasa hingga Minggu, pukul 09.00-15.00. Museum tutup pada hari Senin dan hari besar nasional.

Dio (18), seorang pengunjung, menyayangkan dan mengkhawatirkan kondisi Museum Bahari. Menurut dia, seharusnya museum itu diperhatikan dengan baik karena banyak nilai sejarah terkandung di dalamnya dan bermanfaat bagi pendidikan rakyat Indonesia.

"Sangat disayangkan ya, tidak terawat begini. Ini kan banyak cerita sejarahnya. Bagus juga untuk pendidikan," katanya.

Museum dalam kurun sebulan biasa dikunjungi sekitar 3.500 orang. Sebanyak 30 persennya berasal dari mancanegara.

Irfal mengatakan, tiket masuk yang lebih murah daripada biaya fasilitas WC umum bukan hanya perkara murah. Hal ini juga soal bagaimana agar nasib peninggalan sejarah itu bisa tetap diperhatikan serius. Ia berpendapat, terbengkalainya catatan sejarah, termasuk museum, adalah bukti bahwa bangsa Indonesia belum mengenal atau tidak menghargai budaya dan sejarahnya.

"Tapi mungkin kita adalah bangsa yang belum mengenal budaya dan sejarahnya. Kita bangsa yang kurang mencintai sejarah bangsanya sendiri," ujar Irfal.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com