Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kudeta di Mata Nenek Penari Jaipong

Kompas.com - 26/03/2013, 06:13 WIB
Imanuel More

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Perempuan tua itu berjalan tertatih-tatih menyusuri Jalan Probolinggo, kemudian diteruskan ke Jalan Teuku Cik Ditiro II, Gondangdia, Menteng, Jakarta Pusat. Ia kemudian berbelok memasuki pagar terbuka pembatas area kolong lintasan layang kereta api Gondangdia.

Beberapa orang terlihat sedang berada di lokasi yang menjadi hunian kaum tuna wisma itu. Nyai Sariah, nama perempuan itu, terus berjalan menjinjing kantong plastik hitam ke sebuah gerobak yang terletak di balik tiang beton penyangga jalur layang KA.

"Macet banget di jalan. Katanya mau ada demo. Apa namanya, kudeta ya?" Kata Nyai Sariah saat ditemui Kompas.com di tempat tinggalnya, Senin (25/3/2013).

Isu kudeta ternyata telah sampai ke telinga perempuan berusia 84 tahun itu beserta rekan-rekannya di kolong rel Gondangdia. Dia tak mengetahui makna kata yang berasal dari bahasa Perancis coup d'Etat itu.

Namun, Sariah coba memberi arti pada kata tersebut, berdasarkan tiga fenomena yang dilihat dan didengar wanita kelahiran Majalengka, Jawa Barat, yaitu kemacetan, bagi-bagi sembako, dan aksi unjuk rasa.

"Kayaknya itu maksudnya bagi-bagi sembako, terus demo-demo yang bikin jalanan macet," ujar Nyai Sariah saat ditanyai arti kata yang diucapkannya.

Itulah yang terjadi di Kantor LBH Jakarta, yang menjadi pusat aksi Majelis Kedaulatan Rakyat Indonesia (MKRI). Kelompok inilah yang sebelumnya berencana akan melancarkan aksi unjuk rasa besar-besaran.

Entah karena, banyaknya tokoh nasional yang disebutkan tergabung dalam kelompok ini, rencana aksi tersebut kemudian ditanggapi serius pemerintah. Isu upaya penggulingan kekuasaan atau kudeta pun berhembus terkait rencana aksi MKRI hari ini. Yang kemudian terjadi di Kantor LBH tak lain dari kumpulan massa, warga miskin, yang datang untuk mengantri sembako.

Sebuah panggung memang didirikan di depan kantor LBH dan dipakai untuk berorasi dan gelaran musik. Tak ada konsolidasi massa unjuk rasa dalam jumlah besar, tak ada ribuan pemuda/mahasiswa yang kerap menjadi massa demo garis keras, tak ada tanda-tanda makar, tak terlihat upaya kudeta. Yang terjadi adalah pembagian sembako berupa tiga liter beras, tiga bungkus mie instan, dan bungkusan bawang.

Sariah memilih tidak ikut mengantre bersama warga miskin lainnya untuk mendapat jatah pembagian sembako di Kantor LBH Jakarta. Demikian pula seorang pria tua yang hanya bisa terbaring di dalam gubuk yang terletak berdekatan dengan gerobak Nyai Sariah.

"Namanya Mbah Suro, umurnya sudah 90-an tahun, lebih tua dari saya," terang Sariah.

Keduanya tidak memiliki kekuatan cukup untuk berdesakan di tengah keramaian massa. Keduanya juga tidak mencemaskan situasi Jakarta akan berubah kacau dengan berkumpulnya massa dalam jumlah kecil di salah satu kantor di Jalan Diponegoro.

Sariah dan Mbah Suro tidak cemas akan kekurangan makanan. Keduanya yakin, rekan-rekan mereka, sesama penghuni kolong rel, akan berbagi jatah yang diperoleh dari pembagian sembako. Keduanya juga tidak cemas akan masa depan. Bahkan, Sariah mengaku belum pernah berurusan dengan puskesmas maupun rumah sakit.

"Seumur-umur belum pernah sakit parah, paling batuk pilek," tutur Sariah.

Pangkal kepercayaan kedua orang berusia lanjut itu tak lain dari solidaritas warga kolong rel. Urusan makanan, kebutuhan sekolah, kesehatan menjadi perhatian bersama.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com