Seorang laki-laki paruh baya memasuki kereta rel listrik commuter line Bogor-Tanah Abang di Stasiun Besar Bogor, Senin (1/7/2013) siang. Ia melihat ke kiri-kanan, lalu mengacungkan tiket elektronik di tangan kanannya kepada Angger (40), penumpang yang duduk di dekat pintu. Ia ragu.

"Saya bayar Rp 5.000. Benar bisa naik kereta AC ini,” ujar laki-laki itu. Angger pun mengiyakan.

Laki-laki paruh baya itu lalu duduk di sebelah Angger. Ia mengaku takut salah membeli tiket sehingga bakal terkena denda jika menggunakan KRL commuter line. Ia biasa menggunakan KRL ekonomi bertarif Rp 2.000 untuk Bogor-Jakarta Kota. Hari itu, ia mendengar tarif commuter line rute Bogor-Jakarta Rp 5.000, turun dari sebelumnya Rp 9.000.

Ia ingin menikmati perjalanan dengan KRL yang lebih nyaman dengan biaya tak beda jauh dari tarif KRL ekonomi.

Beberapa menit berbincang, Angger akhirnya tahu lelaki paruh baya itu membayar untuk tujuan Jakarta Kota, tetapi ia menaiki KRL commuter line tujuan Tanah Abang. ”Bapak salah naik. KRL Jakarta Kota ada di peron seberang,” ujar Angger. Laki-laki itu lalu pindah kereta.

Hari pertama pemberlakuan tarif progresif KRL commuter line, kemarin, membuat kereta komuter diminati. Tarif rute Bogor-Depok yang semula Rp 8.000 serta tarif rute Bogor-Jakarta Rp 9.000, kini menjadi lebih murah. Tarif lima stasiun pertama Rp 2.000, dan tiga stasiun berikutnya Rp 500. Dengan demikian, tarif untuk Bogor-Depok Baru masih Rp 2.000. Sementara untuk Stasiun Jakarta Kota tarifnya menjadi Rp 5.000.

”Kok bisa, ya? Saat harga BBM naik, kebutuhan pokok naik, tarif angkutan yang lain juga naik, tiket KRL justru turun drastis,” kata Baihaqi (32), pengguna KRL dari Stasiun Sudimara-Tanah Abang. Ia bakal berhemat Rp 312.000 per bulan karena perubahan tarif itu.

Sebelum menjadi pengguna KRL, Baihaqi pernah menggunakan mobil pribadi untuk pergi-pulang dari rumah ke Kementerian Luar Negeri. Namun, perlahan ia sadar, KRL jauh lebih efektif. ”Menggunakan mobil pribadi, saya butuh 2 jam perjalanan dari rumah ke Jakarta. Dengan KRL, hanya 1 jam,” kata Baihaqi.

Antre satu jam

Namun, minat menggunakan KRL commuter line yang meningkat akibat penurunan tarif itu juga berdampak terjadinya antrean panjang di loket pembelian tiket pada waktu puncak perjalanan pagi hari. Di Stasiun Besar Bogor terlihat antrean sepanjang 40 meter dari loket pada pukul 06.30-08.00. Beberapa calon penumpang terpaksa antre selama 30-60 menit untuk mendapat tiket elektronik.

Antrean panjang juga terjadi di Stasiun Tangerang, Kota Tangerang. Antrean penumpang masih terlihat di depan loket pada pukul 10.00. Mereka harus menunggu giliran mendapatkan tiket. Begitu pula di Stasiun Sudimara. Sebanyak 12 loket yang disediakan dipadati penumpang yang hendak membeli tiket. Antrean juga terjadi saat hendak masuk ke peron melalui gerbang elektronik.

Hal sama juga terjadi saat penumpang hendak keluar dari peron. Di Stasiun Palmerah, penumpang yang turun bertemu dengan penumpang yang masuk peron sehingga membuat antrean panjang karena gerbang elektronik tak dipisah untuk masuk ke peron dan keluar dari peron.

Lamanya mengantre di stasiun menyebabkan penumpang terlambat sampai ke tempat tujuan. Abdul Wahab (59), warga Bogor Barat yang bekerja di Juanda, Jakarta Pusat, misalnya, sudah tiba di Stasiun Besar Bogor pukul 06.15. Ia semula berencana menggunakan KRL commuter line pukul 06.30. Namun, hingga pukul 07.15, ia masih berada 10 meter dari loket. Ia akhirnya terlambat masuk kantor pukul 08.00. Biasanya, ia hanya perlu antre 10-15 menit.

Dia meminta PT Kereta Api Indonesia membenahi sistem pelayanan penjualan tiket agar lebih efisien dan cepat sehingga tak merugikan penumpang.

Meski demikian, ia menyambut baik penerapan tarif progresif karena biaya perjalanan menjadi lebih murah. Ia bisa menghemat separuh pengeluaran dengan menggunakan commuter line.

Perubahan perilaku