JAKARTA, KOMPAS.com
- Setiap ada kasus bus umum menabrak warga di jalanan Ibu Kota, kebencian terhadap angkutan itu memuncak. Tak jarang massa membakar bus, atau menghabisi sopirnya, seperti yang terjadi pada Metromini T-50, yang beroperasi di trayek T-47, setelah menabrak tiga siswa SMP di Jalan Pemuda, Pulo Gadung, Jakarta Timur, Selasa, 23 Juli lalu.

Seiring dengan kecaman publik, Dinas Perhubungan Provinsi DKI Jakarta menertibkan angkutan umum tidak laik jalan. Sampai Selasa (13/8) sore, jumlah kendaraan tidak laik jalan yang ditahan Dinas Perhubungan 120 unit, yakni 61 metromini, 12 kopaja, dan sisanya 47 kendaraan dari berbagai jenis, seperti bajaj, angkot, bus besar, dan kendaraan angkutan barang.

Kepala Dinas Perhubungan Provinsi DKI Jakarta Udar Pristono mengatakan, penertiban itu dilakukan untuk menjaga keselamatan penumpangnya. "Aturannya sudah jelas, kendaraan tidak laik jalan tidak boleh beroperasi," kata Pristono.

Penertiban angkutan ini hampir setiap hari dilakukan di Ibu Kota. Di Jakarta Barat, misalnya, sejak akhir Juli hingga kemarin sudah 36 kendaraan "dikandangkan" di Rawa Buaya, Jakarta Barat, yang terdiri dari 28 metromini dan 8 kopaja.

Khawatir

Kepala Seksi Operasi Suku Dinas Perhubungan Jakarta Barat Imam Slamet mengatakan, penertiban sebulan terakhir ini membuat jumlah metromini yang beroperasi di Jakarta Barat turun 40 persen. "Ini menunjukkan Pemprov DKI tidak main-main menertibkan kendaraan tidak laik jalan," tuturnya.

Garangnya petugas di lapangan membuat pemilik dan sopir resah. Direktur Umum PT Metro Mini TH Panjaitan mendukung penegakan hukum Dinas Perhubungan. Namun, dia meminta agar penertiban itu jangan sampai mematikan operasional pengusaha angkutan.

"Kami ingin tetap hidup. Bukanya kami tidak setuju penertiban, tetapi kami kesulitan mengganti semua suku cadang yang rusak. Apalagi membeli bus baru, harganya terlalu mahal bagi kami," kata Panjaitan.

Walaupun angkutan bus sedang tertekan, kendaraan ini masih ditunggu penumpangnya. Metromini T-506 (Kampung Melayu-Pondok Kopi), misalnya, setiap jam pulang kerja selalu diburu penumpangnya. Tak sampai 10 menit, semua kursi di bus itu terisi penumpang.

Padahal, kondisi fisik bus itu tidak lebih baik daripada bus- bus yang dikandangkan Dinas Perhubungan DKI Jakarta. Bodi bus keropos, catnya kusam, plafonnya rusak, panel di dasbor kemudi tidak berfungsi, serta posisi setir dan bangku sopir tidak simetris. Sementara dari ujung knalpot mengepul asap hitam pekat. Namun, di kaca kanan ruang kemudi tertempel surat tanda uji kelaikan (STUK) yang masih berlaku.

"Hampir setiap hari saya pergi dan pulang kerja naik metromini," kata Zaini (52), warga Pondok Kopi, Jakarta Timur, yang mengaku ongkos murah jadi alasannya naik metromini. (K08/WIN/NDY)