JAKARTA, KOMPAS.com
- Semua pihak seolah tersentak ketika bus PO Giri Indah yang diduga mengalami rem blong masuk ke sungai kecil di Kampung Persit, RT 002 RW 002, Desa Tugu Utara, Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Kegaduhan menanggapi tragedi pada angkutan umum yang menewaskan 18 penumpang dan 2 warga lokal itu seolah kasus besar yang baru pertama kali terjadi di negeri ini.

Padahal tidak! Kasus itu bukan yang pertama kali terjadi di kawasan Puncak. Bukan pula tragedi memilukan pertama kali yang dilupakan oleh berbagai pihak setelah sempat gaduh mewacanakan sanksi tegas kepada operator bus dan sopir. Ini karena kasus kecelakaan pada angkutan umum yang menelan korban jiwa puluhan orang sudah terjadi beberapa kali, termasuk di kawasan Puncak, Jawa Barat.

Sekadar menyegarkan ingatan semua pihak mengenai tragedi memilukan yang terjadi sepanjang Februari 2012. Sedikitnya ada lima kasus memilukan, kasus pertama pada 2 Februari 2012 di Wado, Sumedang, Jawa Barat, bus Maju Jaya jurusan Tasikmalaya-Cikampek masuk jurang, menyebabkan 12 orang tewas. Sehari kemudian, bus Mayasari Bakti menabrak sepeda motor di Pasar Senen, Jakarta, satu orang tewas.

Berselang empat hari kemudian, tepatnya 7 Februari 2012, bus Luragung Jaya jurusan Cirebon-Bekasi menabrak truk peti kemas di Indramayu, Jawa Barat, menewaskan tiga orang. Bus Sumber Kencono jurusan Surabaya-Yogyakarta juga masuk jurang, menyebabkan dua orang tewas di Magetan, Jawa Timur. Pada 10 Februari, Jumat malam, bus Karunia Bakti jurusan Garut-Jakarta menabrak sejumlah kendaraan dan kios di Cisarua, Bogor, Jawa Barat, menyebabkan 14 orang tewas dan 54 orang luka-luka.

Pada tahun 2013, tragedi memilukan pada angkutan umum masih terus terjadi. Pada 27 Februari di jalur Puncak Cianjur, Ciloto, Jawa Barat, bus pariwisata Mustika Mega yang kelebihan beban menabrak tebing, 17 orang tewas serta 51 orang luka ringan dan berat.

Pada 15 Juli 2013 kembali terjadi kecelakaan yang menelan korban jiwa. Bus Setia Negara yang melaju kencang dari Cirebon-Jakarta saat berada di Desa Batangsari, Kecamatan Sukasari, Subang, oleng dan akhirnya menabrak truk tronton, tujuh orang tewas.

Pada saat itu juga terjadi kegaduhan semua pihak. Mulai dari pengamat, aparat kepolisian, Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT), pejabat Kementerian Perhubungan, hingga anggota Dewan Perwakilan Rakyat bersuara lantang. Sejumlah pendapat dilontarkan ke ruang publik, mulai dari pembenahan soal angkutan umum nasional yang bobrok, pencabutan izin trayek dan izin usaha operator bus, hingga memenjarakan sopir ataupun pemilik perusahaan bus. Namun, sejumlah wacana itu akhirnya menguap begitu saja seiring dengan berjalannya waktu.

Pemidanaan sopir dan pemilik angkutan sebagai upaya tanggung renteng pertanggungjawaban pengelola angkutan umum atas nasib tragis yang dialami korban tewas untuk menciptakan efek jera ternyata tak pernah terlihat secara transparan. Hasil penyidikan oleh KNKT, termasuk penjatuhan sanksi terhadap operator bus, juga tidak pernah terdengar di telinga publik.

Perbaikan sistem uji kir terhadap angkutan umum yang menjadi ujung tombak keselamatan calon penumpang angkutan umum tak pernah terlihat hasilnya. Peremajaan bus sesuai dengan masa pakai yang layak tidak pernah terjadi, termasuk pemeliharaan kendaraan dengan penggantian suku cadang yang standar tidak pernah dilakukan maksimal. Ban gundul diganti dengan ban vulkanisir dan komponen yang ada diatasi secara kanibal dengan komponen mesin lainnya.

Fakta mengejutkan

Sampai akhirnya kembali terjadi tragedi memilukan PO Giri Indah, Rabu (21/8) pagi. Kegaduhan kembali terjadi seperti pada kasus bus Karunia Bakti. KNKT diterjunkan. Menteri Perhubungan bersuara keras dengan ancaman. Bahkan, Direktur Jenderal Perhubungan Darat juga tak kalah galaknya mengancam akan mencabut izin PO Giri Indah jika terbukti memalsukan dokumen trayek ataupun buku kir meskipun selama ini faktanya tidak pernah terlihat nyata.

Malahan dari kejadian itu, tim dari Kepolisian Resor Bogor menemukan fakta-fakta yang yang mengejutkan. Salah satunya adalah ditemukannya buku uji kir bertanggal 9 Juli 2013, padahal hasil pelacakan secara daring (online) ke pusat data PKB Pulo Gadung, bus Giri Indah B 7927 BI produksi 1997 itu terakhir melaksanakan uji kir pada 15 September 2005.

Jika data tersebut benar, berarti ada dugaan pemalsuan dokumen yang bisa dipakai untuk menggiring pemilik bus, minimal manajemen PO, ke ranah pidana. Ini karena terjadinya pemalsuan dokumen bus sebab tidak melakukan uji kelaikan sejak delapan tahun lalu. Padahal, bus tersebut sebagai angkutan umum wajib melaksanakan uji kir setiap enam bulan sekali.

Mengantisipasi kasus ini tidak terus terjadi, mendesak bagi pemangku kepentingan untuk melakukan berbagai perbaikan di semua lini. Perbaikan itu dimulai dari ketegasan sanksi terhadap semua pihak terkait untuk menimbulkan efek jera. Juga pembersihan praktik ekonomi biaya tinggi yang terjadi di lembaga pengujian kelaikan kendaraan yang menjadi ujung tombak keselamatan penumpang. Dengan demikian, bus tidak menjadi deretan peti mati yang bergerak liar di jalan raya.

Sanksi pidana terhadap sopir sudah saatnya direvisi. Sebab, selama ini kecelakaan yang terjadi pada bus umum selalu ditimpakan kepada sopir sebagai penanggung jawab tunggal penyebab kecelakaan. Padahal, sopir itu dipilih dan dipekerjakan oleh pemilik bus, yang tentunya melalui seleksi dan tes psikis sebagai pengemudi.

Pemeliharaan kendaraan juga merupakan tanggung jawab pemilik karena seluruh keuntungan yang diraup dari bisnis jasa angkutan itu dinikmati oleh pemilik dan jajaran direksi PO. Dengan demikian, pembebanan tanggung jawab yang harus dituangkan dalam undang-undang ataupun peraturan pemerintah harus diberlakukan kepada semua pihak, mulai dari hulu hingga hilir. Melalui langkah ini diharapkan bisa menekan semua pihak untuk mawas diri dalam menyelenggarakan jasa angkutan umum yang aman, baik, dan nyaman.

Catatan akhir adalah bagaimana memahami secara jelas bahwa sejumlah tragedi memilukan tersebut terjadi karena kesalahan yang sistematis, mulai dari pemerintah hingga pengemudi. Sebagai regulator, sudah seharusnya pemerintah menerbitkan peraturan menyeluruh dan mengikat soal pengenaan sanksi kepada semua pihak jika melanggar peraturan. Sanksi itu terutama dikenakan kepada pejabat daerah yang lalai melakukan tugas, apalagi memanfaatkannya untuk mencari keuntungan pribadi.