JAKARTA, KOMPAS.com — Proses integrasi bus umum ke jalur transjakarta tidak serta-merta bisa dilakukan. Tidak semua operator memiliki kemampuan mengadakan bus baru. Sementara bus yang ada saat ini tidak semua layak beroperasi di jalur transjakarta.
Di sisi lain, ada perbedaan konsep bus umum dan transjakarta yang butuh penyesuaian terlalu banyak. Perbedaan pintu keluar masuk penumpang saja sudah amat berbeda. Untuk itu, Yayat meminta Pemprov DKI Jakarta fokus pada percepatan pengadaan transjakarta. Saat ini, pengadaan bus terlambat karena terlalu banyak izin yang harus dikoreksi.
Menurut dosen Fakultas Teknik Universitas Indonesia, Alvinsyah, hal itu terjadi karena sistem manajemen transportasi Ibu Kota saat ini masih karut-marut. Mau tidak mau, perlu ada pembenahan mendasar menyangkut kualitas pelayanan melalui program peremajaan bus.
”Pemahaman harus menjadi ideologi bersama. Jika hanya perencanaan belaka, belum tentu berjalan seperti program yang sudah ada,” kata Alvinsyah.
Tilang bukan target
Selama masa sterilisasi jalur transjakarta, Polda Metro Jaya telah menilang 59.000 kendaraan yang melanggar. Kepala Bidang Humas Polda Metro Komisaris Besar Rikwanto mengatakan, saat ini pihaknya masih berkoordinasi dengan pihak kejaksaan dan pengadilan soal mekanisme vonis. Ia menambahkan, saat ini masih dalam tahap sosialisasi mengenai sterilisasi jalur transjakarta, termasuk risiko bagi pelanggar. Rikwanto menyebut, kemungkinan pelaksanaan vonis denda maksimal itu akan dilakukan bersamaan dengan kedatangan transjakarta baru.
Wakil Direktur Lalu Lintas Polda Metro Jaya Ajun Komisaris Besar Sambodo Purnomo mengatakan, operasi sterilisasi jalur transjakarta cukup efektif. Pelanggar jalur berkurang signifikan sampai 70 persen. (RAY/RTS/MKN/NEL/FRO/NDY)