JAKARTA, KOMPAS.com — Perbaikan kondisi Sungai Pesanggrahan mempunyai peran vital dalam pencegahan banjir di DKI Jakarta. Daerah Aliran Sungai Pesanggrahan yang mencapai 112 kilometer persegi sangat buruk. Saat ini, proyek normalisasi tengah berjalan, tetapi tampaknya tak kuasa menahan laju alih fungsi di sempadan sungai.

Padahal, jika Sungai Pesanggrahan bisa dinormalisasi, 50 persen banjir di Jakarta akan teratasi. Apalagi jika normalisasi dilakukan lengkap dengan perbaikan embung mata air, pembangunan polder, sumur resapan, biopori, dan perbaikan daerah tangkapan, air sungainya pun bisa kembali jernih.

Sungai Pesanggrahan bermata air di Kota Bogor dan berujung di Cengkareng Drain, Jakarta Barat, sebelum akhirnya mengalir ke laut. Sungai itu melintasi Kota Tangerang Selatan di Kelurahan Poncol serta beberapa wilayah di Jakarta, seperti Lebak Bulus, Ulujami, dan Kedoya. Sebanyak 1,2 juta orang diperkirakan tinggal di sepanjang daerah aliran sungai (DAS) yang mengalami perubahan fisik luar biasa dalam 31 tahun terakhir.

Dalam penyusuran tim Kompas, Jumat (22/11), di RT 001 RW 004 Sukaresmi, Kecamatan Tanah Sareal, Bogor, tempat mata air Pesanggrahan berasal, lokasinya telah beralih fungsi. Vegetasi alami, seperti hutan bambu, sawah, dan kebun warga, berubah menjadi permukiman padat penduduk.

Tak jauh dari mata air Pesanggrahan, mata air Sungai Suren yang menjadi salah satu sumber air untuk Pesanggrahan pun kondisinya tidak berbeda. Di sebelah mata air itu telah dibangun fasilitas mandi, cuci, kakus untuk memenuhi kebutuhan warga.

Menurut Fathoni, warga Sukaresmi, alih fungsi lahan itu marak sejak tahun 1982, terutama sejak pembukaan jalan baru, Jalan Sholeh Iskandar. Di atas jalan itu sekarang sedang dibangun Jalan Tol Lingkar Luar Bogor.

Kepala BP DAS Citarum Ciliwung Dodi Susanto mengatakan, di sepanjang DAS Pesanggrahan hampir tak ada lagi tegakan pohon. Dalam pemetaan terkini, tercantum keterangan nol persen untuk kawasan hutan DAS Pesanggrahan.

Dari kawasan hulu, seperti di Tanah Sareal, hingga ke wilayah hilir, seperti Bojong Gede, Cinere, Cirendeu, Ulujami, Ciputat, Bintaro, dan Kedoya, sudah padat oleh rumah penduduk.

Di Cirendeu, Tangerang Selatan, ada perumahan yang telah berdiri 10-20 tahun lalu, mengokupasi sebagian sempadan sungai. Di kawasan Cipulir, Jakarta Selatan, hingga Pos Pengumben yang berbatasan dengan Jakarta Barat, ada proyek pembangunan pusat tekstil dan perumahan, tepat di bibir Pesanggrahan. Kawasan hijau hanya tersisa di dua tempat, yaitu Hutan Kota Pesanggarahan Sangga Buana, Jakarta Selatan, dan Srengseng Sawah di Jakarta Barat.

Menurut Dodi, tanpa ketersediaan hutan atau kumpulan tegakan dengan luas ideal dan tersebar proporsional, pemerintah di Jawa Barat, Banten, dan DKI akan kesulitan menangani banjir. Saat ini setidaknya hanya tersisa 5.853 hektar atau 33 persen dari total DAS bebas dari bangunan.
Perubahan peruntukan

Di Jakarta, salah satu penyebab melemahnya daya dukung lingkungan di sepanjang DAS Pesanggrahan adalah adanya perubahan peruntukan kawasan. Itu terjadi sejak lahir Perda Nomor 1 Tahun 2006 tentang Retribusi Daerah. Aturan itu memungkinkan adanya perubahan peruntukan lahan setelah mendapat persetujuan gubernur. Syaratnya, memberi insentif ke kas daerah. Perda ini mengacu pada Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang.

Kepala Bidang Tata Ruang Dinas Tata Ruang Provinsi DKI Iwan Kurniawan mengatakan, setelah terbit Perda Nomor 3 Tahun 2012 tentang Retribusi Daerah, ketentuan retribusi dari penyesuaian peruntukan tidak diatur lagi. Ketentuan itu mengacu pada UU No 26/2007 tentang Penataan Ruang. Meski demikian, hingga saat ini perubahan itu masih memungkinkan terjadi karena Rencana Detail Tata Ruang belum disahkan.

Di sisi lain, ancaman banjir yang terus menghantui Jakarta mendorong pemerintah melakukan normalisasi. Program itu digarap bersama Kementerian Pekerjaan Umum (PU) dan Pemprov DKI Jakarta. Pusat bertugas membangun fisik proyek normalisasi, sedangkan DKI bertanggung jawab membebaskan lahan di sepanjang aliran kali.

Kementerian PU mengalokasikan dana Rp 2,3 triliun untuk normalisasi tiga sungai, yaitu Pesanggrahan, Angke, dan Sunter. Tahun ini dana yang dikucurkan senilai Rp 600 miliar.

Direktur Jenderal Sumber Daya Air Mohamad Hasan mengatakan, ditargetkan pada 2014 proyek itu selesai. Namun, target itu tampaknya tidak dapat dipenuhi. Wilayah yang harus dibebaskan belum memenuhi target. Dari 29 kilometer lahan proyek di sembilan wilayah kelurahan yang harus dibebaskan, pemerintah baru berhasil membebaskan lahan seluas 24.969 meter persegi di empat kelurahan.

Kendalanya, Dinas PU DKI Jakarta belum bisa memastikan luasan lahan yang harus dibebaskan. Penyebabnya, data dokumen tanah belum lengkap. ”Ini menjadi persoalan paling serius yang kami hadapi. Tahapan pembebasan lahan tidak akan jalan tanpa ada dokumen ini,” kata Kepala Dinas PU Provinsi DKI Jakarta Manggas Rudi Siahaan.

Dinas PU DKI Jakarta berkali-kali meminta percepatan penerbitan petak bidang ke Badan Pertanahan Nasional, tetapi dokumen yang keluar satu-satu tanpa ada percepatan berarti.

Sebelumnya, Kepala Balai Besar Wilayah Sungai Ciliwung Cisadane Imam Santoso khawatir pekerjaan fisik normalisasi sungai melambat pada 2014 karena masalah pembebasan lahan. Akibatnya, proyek yang digadang-gadang bisa mengurangi 50 persen ancaman banjir di Jakarta pun belum tentu terealisasi. Padahal, Oktober lalu, normalisasi sudah mencapai 50-60 persen. Jika proyek terhambat, siap-siap banjir kembali menyerbu Jakarta.(BRO/ARN/HRS/JOS/NDY/NEL/MAM)