JAKARTA, KOMPAS.com —
Layanan angkutan perbatasan terintegrasi bus transjakarta dan bus kota terintegrasi bus transjakarta amat buruk. Selain soal pengenaan tiket tambahan yang tidak jelas, pelayanan di dalam bus juga jauh di bawah standar bus transjakarta. Keberadaan kedua moda itu justru sering mengganggu mobilitas bus transjakarta.

Sekitar pukul 10.00, Kamis (23/1), penumpang transjakarta Koridor VI Ragunan-Dukuh Atas dibuat geram ketika busnya terhenti tiba-tiba tanpa alasan. Selama beberapa saat, transjakarta itu tak bisa melaju karena di depannya ada kopaja AC yang berhenti karena ban kempis.

”Pengalaman itu saya alami sendiri karena saya ada dalam bus transjakarta. Ada sekitar enam menit bus saya tertahan. Pada 3 Januari lalu, hal serupa terjadi di perempatan Deptan, Ragunan. Waktu itu, kopaja AC ternyata ngetem cari penumpang,” kata pengamat transportasi publik yang juga pelanggan setia transjakarta, Darmaningtyas, kemarin.

Saat ini, kopaja AC menjadi satu-satunya angkutan umum yang tergolong dalam bus kota terintegrasi bus transjakarta (BKTB). Sementara angkutan perbatasan terintegrasi bus transjakarta (APTB) dikelola operator, seperti Perusahaan Otobus (PO) Bianglala dan PPD.

BKTB dan APTB adalah angkutan reguler yang dianggap telah memenuhi kualitas tertentu, termasuk bentuk armadanya didesain seperti transjakarta tetapi dalam ukuran lebih kecil.

Kedua moda itu muncul untuk menjawab kebutuhan integrasi transjakarta dengan angkutan umum dari daerah di sekitar DKI. Dengan APTB mereka bisa langsung bergerak dari kawasan tertentu, seperti Ciputat, menuju kawasan Sudirman-MH Thamrin tanpa perlu repot berpindah moda. BKTB juga memiliki peran tak jauh beda dari APTB, tetapi moda ini khusus melayani mobilitas di dalam kota. Istimewanya, APTB dan BKTB boleh menggunakan jalur khusus transjakarta dan bisa mengambil penumpang di halte angkutan massal itu.

Namun, penumpang yang menggunakan transjakarta dan APTB ataupun BKTB merasakan bahwa kedua moda baru itu sekadar memaksimalkan pemanfaatan keistimewaan yang mereka miliki. Di sisi lain, pengelola kedua moda tidak menjaga mutu layanan kepada penumpang.

Seperti saat Kompas menggunakan APTB Ciputat-Kota dari Stasiun Kota menuju Halte Gelora Bung Karno, Rabu lalu. Perilaku pengemudi APTB masih sama persis dengan awak bus kota umumnya. Selain ngebut di jalur transjakarta, mereka juga seenaknya masuk keluar jalur transjakarta dengan alasan menghindari kemacetan di beberapa persimpangan di sepanjang Stasiun Kota-Harmoni. Saat melaju di jalur reguler, di tengah jalan dan di tengah kepadatan lalu lintas, sopir dan kenek bus kompak menaikkan penumpang.

Sesuai aturan dari Dinas Perhubungan DKI Jakarta, APTB memang boleh menaikkan penumpang di jalur reguler jika di ruas yang sama tidak ada jalur transjakarta.

Pengelola APTB juga membiarkan penumpang terus masuk sehingga kondisi bus penuh sesak. Tempat menaruh barang di samping atas barisan kursi paling belakang pun dijejali penumpang yang duduk lesehan.

Penumpang banyak yang tidak tahu bahwa jika sejak awal berniat menggunakan APTB, mereka bisa langsung mengatakan kepada petugas tiket di halte dan membayar Rp 5.000 per orang. Dengan tiket itu, ia berhak langsung naik APTB atau naik transjakarta dulu kemudian berganti ke APTB menuju lokasi tujuan. Namun, karena tidak tahu, penumpang terpaksa dua kali mengeluarkan uang. Pertama, ia membeli tiket transjakarta Rp 3.500 per orang kemudian disuruh membayar lagi Rp 5.000 per orang saat masuk APTB.

Tidak konsisten

Darmaningtyas mengatakan, terkait keberadaan APTB/BKTB, dinas perhubungan dinilai tidak konsisten dengan konsep/perencanaan awal saat akan melahirkan transjakarta, yaitu menghapus trayek-trayek yang 50 persen beririsan dengan jalur angkutan massal itu. Kebutuhan integrasi antarmoda diwujudkan dengan rencana menata angkutan reguler menjadi bus pengumpan bagi transjakarta.

Sebelumnya, Direktur Institute for Transportation and Development Policy (ITDP) Yoga Adiwinarto mengakui, sistem baru ini masih memiliki banyak kekurangan yang harus segera diperbaiki. Namun, bukan berarti harus menghapus APTB dan BKTB karena keberadaan keduanya merupakan terobosan bagus dalam mendongkrak kualitas layanan transjakarta dan langkah maju mewujudkan integrasi antarmoda yang memudahkan pengguna.

Terkait langkah Unit Pengelola (UP) Transjakarta mengelola pengemudi, Ketua Umum Serikat Pekerja Transjakarta Lasdi berpendapat, UP Transjakarta lebih baik mengawasi operator secara ketat ketimbang merekrut dan mengelola pengemudi sendiri. ”Kami khawatir justru terjadi monopoli. Padahal, operator ini pemilik trayek yang terikat kontrak kerja sama,” kata Lasdi. (MKN/PIN/NEL)