JAKARTA, KOMPAS.com
— Sejumlah penumpang bus transjakarta resah karena bus transjakarta sering mengalami gangguan teknis. Kejadian bus mogok, ban pecah, dan mesin terbakar menebar rasa tidak aman dan tidak nyaman bagi penumpang. Namun, itulah pilihan terbaik di antara yang terburuk.

Ola (25), karyawati di kawasan perkantoran Jalan Gatot Subroto, Jakarta Selatan, mengatakan, pada hari Minggu lalu, saat menggunakan transjakarta Koridor IX rute Cililitan-Grogol, ban bus meledak. Seluruh penumpang di bus itu dievakuasi ke Halte BNN dan dipindahkan ke transjakarta lain.

Belum lama ini, dalam perjalanan pulang dari kantor ke rumah di Cililitan, Ola diturunkan di Halte Tegal Parang karena bus bermasalah di bagian mesin. Padahal, bus tersebut adalah bus gandeng baru.

Dari Jumat (28/2/2014) sampai Senin, tercatat ada empat transjakarta yang mengalami gangguan di sejumlah koridor. Mantan Manajer Operasional PT Jakarta Ekspres Trans (JET) Marulam Hutabarat mengatakan, gangguan layanan itu terjadi karena dua sebab.

Pertama, sejumlah bus sudah lewat masa teknis dan ekonomis, sudah tua, dan sudah saatnya direkondisi atau diremajakan. Kedua, memang ada masalah dalam perawatan dan pemeriksaan kondisi bus setiap hari.

Menurut Hutabarat, bus yang tidak layak tetapi tetap dioperasikan menunjukkan tidak adanya kontrol dari pihak operator dan Unit Pengelola (UP) Transjakarta. Dalam mengoperasikan angkutan publik, setiap unit harus melewati pemeriksaan rutin setiap hari sebelum, selama, dan setelah dari lapangan. Standarnya, hasil pemeriksaan itu harus rutin dilaporkan kepada pengawas, yaitu UP Transjakarta.

Seharusnya, gangguan layanan tersebut dapat dikurangi dengan menerapkan standar pelayanan minimal (SPM). Tulus Abadi dari Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia mengatakan, SPM sudah lama akan disahkan, tetapi selalu tidak jadi. ”Tanpa SPM, sulit mengontrol kualitas pelayanan. Setiap pihak bisa lempar tanggung jawab, sementara penumpang makin dirugikan dan keamanannya tidak terjamin,” katanya.

Sementara itu, pengamat transportasi dari Universitas Indonesia, Alvinsyah, berpendapat, operator transjakarta tidak memiliki perencanaan teknis dan administrasi yang baik. ”Kurangnya perencanaan teknis mengakibatkan kualitas bus baru tidak sesuai harapan. Pada sisi lain, kekurangan aspek administrasi membuat pengelolaan layanan terkesan asal-asalan,” ujar Alvinsyah.

Sedang ditata

Kepala UP Transjakarta Pargaulan Butar-Butar menyatakan sedang memperketat pengawasan terhadap perawatan bus di setiap operator. Sejauh ini, baru satu operator yang merawat armada dengan baik, yakni PT Primajasa. ”Seharusnya setiap operator merawat bus-bus secara rutin. Maka itu, kami turun lagi untuk memperketat pengawasan,” katanya.

Selain soal perawatan, Pargaulan mengatakan, tidak sedikit bus yang sudah cukup tua masih dioperasikan beberapa operator. Sementara bus yang baru juga baru dioperasikan sebagian karena harus melalui pemeriksaan secara ketat.

Dari delapan operator, ada empat operator yang masih mengoperasikan bus berusia di atas tujuh tahun, yakni PT Trans Batavia, PT Trans Metropolitan, PT Jakarta Mega Trans, dan PT Trans Mayapada Busway. Total ada 340 bus yang dioperasikan empat operator itu atau sekitar 49 persen dari 687 bus tunggal dan gandeng yang dioperasikan.

Empat operator itu diberi ultimatum agar meremajakan armada jika kontrak sebagai operator pada 2015 ingin diperpanjang.

Pemberian sanksi kepada operator yang nakal didukung oleh Kepala Dinas Perhubungan Provinsi DKI Jakarta M Akbar. Menurut Akbar, siapa pun yang melanggar perjanjian kerja sama selayaknya mendapat sanksi. Pola ini diberlakukan untuk menjaga kualitas layanan. Dengan demikian, penumpang mendapat kenyamanan ketika menggunakan transjakarta. (MDN/NEL/A14/A03/A07/NDY/MKN)