JAKARTA, KOMPAS.com — 
Penataan Waduk Pluit, Jakarta Utara, setahun terakhir menjadi tonggak untuk menata Jakarta. Keruwetan masalah yang bertumpuk sejak puluhan tahun silam diselesaikan melalui pendekatan manusiawi. Sejumlah ahli menilai terobosan Pemerintah DKI Jakarta ini menuai hasil positif.

Peneliti teknik lingkungan dari Universitas Indonesia, Firdaus Ali; sosiolog Tamrin Amal Tomagola; dan pengamat ekonomi Hendri Saparini dalam diskusi dan peluncuran buku Waduk Pluit: Semangat Membangun Jakarta Baru, Rabu (26/3), mengapresiasi terobosan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama dalam merelokasi ribuan keluarga dan membangun taman kota Waduk Pluit.

Firdaus berpendapat, Jokowi-Basuki memulai penataan dari Waduk Pluit yang berada di pesisir utara. Kawasan ini menjadi cermin kompleksnya persoalan Jakarta, dari tata ruang, perumahan, tata kelola air, hingga sosial-ekonomi.

Setelah banjir Januari 2013, Pemerintah DKI Jakarta merelokasi penghuni bantaran Waduk Pluit ke rumah susun. Kini, sekitar 10 hektar lahan di sisi barat waduk telah berubah menjadi taman kota.

Firdaus mengatakan, setelah merombak wajah Waduk Pluit, Pemerintah DKI Jakarta masih memiliki tugas untuk memperbaiki Waduk Melati, Taman Ria, Ria Rio, dan Marunda.

”Waduk Pluit ini merupakan awal. Ketimbang ribut memaksa Pemda Bogor dan Depok bikin waduk, mengapa tidak merevitalisasi waduk yang ada (di DKI) untuk menambah daya tampung air yang besar dan menjadi oasis baru di Ibu Kota,” ujarnya.

Tamrin berpendapat, langkah Jokowi merelokasi penghuni bantaran waduk tepat. Tidak seperti pengosongan lahan yang selama ini ditempuh pemerintah, Jokowi mendekati warga, berdialog, dan menawarkan solusi dengan menyediakan rusun. Cara ini efektif sekaligus manusiawi.

Keberhasilan menata sebagian sisi Waduk Pluit menjalar ke kawasan lain, seperti Waduk Ria Rio di Jakarta Timur. Metode serupa ditempuh dalam normalisasi sungai, saluran, dan waduk lain di DKI Jakarta.

Jokowi-Basuki, ujar Hendri, mengimplementasikan amanat Undang-Undang Dasar dengan membumikan politik ekonomi. Keduanya berupaya memenuhi kebutuhan dasar warga, seperti sandang-papan, kesehatan, dan transportasi.

Hendri mengapresiasi langkah Jokowi-Basuki menggerakkan PT Jakarta Propertindo, badan usaha milik daerah (BUMD) DKI Jakarta, menata kawasan Waduk Pluit. Ini contoh bagaimana BUMD seharusnya tidak semata berorientasi keuntungan finansial, tetapi juga membantu pemerintah melayani publik.

Menurut mantan Kepala Staf Proyek Pengendali Banjir Jakarta era 1977-1982 Achmad Lanti, sejak selesai dinormalisasi pada 1979, Waduk Pluit mengalami degradasi. Kedalamannya berkurang akibat sedimentasi, sementara bantaran terus menyusut karena okupasi penghuni liar. Saluran di lingkaran waduk bahkan hilang karena ditumbuhi bangunan.
34 tahun

”Gubernur telah berganti, tetapi mereka tak mampu mengatasi tumpukan persoalan di Waduk Pluit karena beragam kepentingan. Setelah 34 tahun, wajah Waduk Pluit akhirnya berubah lebih baik,” kata Lanti.

Lanti menambahkan, Waduk Pluit yang diresmikan Presiden Soeharto pada 1968 itu dibangun untuk mengurangi risiko banjir, setidaknya untuk sekitar 2.400 hektar area di kawasan Monas, Istana Negara, Thamrin, Cideng, dan Krukut. Namun, ketidaktegasan pemerintah membuat bangunan liar terus bertambah di sekelilingnya.

Kini diperkirakan lebih dari 10.000 keluarga masih tinggal di sisi timur Waduk Pluit. Pemerintah DKI berencana merelokasi mereka ke rusun. Namun, pembangunan rusun belum rampung. Di sisi barat terbangun taman kota, amfiteater, dan lintasan joging. Selain itu, juga telah dibangun instalasi pengolah limbah dan air bersih. (MKN/ART)