Kaum ibu pantas khawatir karena fakta dan data yang dikumpulkan Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) menunjukkan dari 2010 hingga 2014 ada peningkatan jumlah pengaduan pelanggaran hak anak.
Sesuai data dari Pusat Data dan Informasi Komnas PA yang bersumber dari laporan masyarakat melalui pelayanan pengaduan langsung, pemberitaan media massa, serta pengolahan data oleh Lembaga Perlindungan Anak di 34 provinsi di Indonesia, total ada 21.689.797 kasus pelanggaran hak anak. Sebanyak 42-58 persen dari angka itu adalah kasus kekerasan seksual.
”Bentuk kekerasan yang dialami anak amat beragam dan menakutkan. Pemerkosaan, perbuatan cabul, dan sodomi mendominasi. Yang mengejutkan, pelaku adalah orang terdekat atau kasus inses,” kata Arist Merdeka Sirait dari Komnas PA.
Bersama Ibu Bergerak, Komnas PA dalam deklarasi Gerakan Nasional Indonesia Satu Menentang Kejahatan Seksual terhadap Anak kemarin di kawasan Kemang, Jakarta Selatan, mendesak DPR dan pemerintah segera merevisi Pasal 81 dan 82 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
”Ubah ketentuan hukuman penjara 3-15 tahun bagi para pelaku kejahatan seksual terhadap anak menjadi kurungan minimal 20 tahun. Maksimal hukuman yang pantas adalah seumur hidup ditambah pemberatan hukum kebiri melalui suntik kimia khusus bagi pelaku kejahatan seksual dewasa,” kata Arist.
Gerakan ini juga mendesak pemerintah melakukan langkah-langkah strategis pencegahan pelanggaran hak anak melalui penguatan organisasi dan peran serta masyarakat. Tim reaksi cepat perlindungan anak di setiap desa atau RT/RW dengan melibatkan ketua RT, kepala desa, lurah, karang taruna, PKK, posyandu, hingga polisi dibentuk untuk selalu siaga dan responsif.
Beberapa psikolog yang turut hadir dalam acara itu menyatakan, anak korban kejahatan seksual tidak bisa langsung diinterogasi oleh polisi. Mereka trauma dan biasanya tidak bisa langsung bercerita.
Oleh karena itu, jika ada anak menjadi korban, yang paling utama adalah membuat anak merasa aman dan nyaman. Setelah kondisinya baik, baru anak diajak bicara mengungkap pelaku.
”Database” para predator
Precilia Siahaan, salah satu penggagas Ibu Bergerak, dalam acara yang sama, mengatakan, dengan hukuman yang ringan, bisa jadi predator anak cepat bebas dari tahanan. Sulit mencegah para predator menyusup ke lingkungan sekitar anak dan kembali memangsa.
Untuk itu, Precilia bersama kaum ibu dan bapak yang peduli, seperti Mira Sirait, Julienne Sunarjo, Juliana Soedomo, dan Chico Hakim, membuat petisi agar Kementerian Hukum dan HAM membuka kepada publik database pelaku kejahatan seks, terutama yang korbannya anak-anak.
”Dengan database yang bisa diakses semua orang, saya dan juga para orangtua lain bisa menggunakannya untuk menyeleksi orang yang akan bekerja dekat anak kita, seperti sopir atau pengasuh,” kata Precilia.
Presenter yang turut mendukung petisi ini, Feni Rose, bahkan mengatakan, dengan adanya database itu, orang bisa mengecek calon karyawannya, calon guru, bahkan calon suami mereka.
Precilia dan Feni mengajak semua orang menandatangani petisi yang akan diserahkan ke Kemenkumham dan Kemendikbud ini. Yang berminat bisa mengakses di internet dengan kata kunci www.change.org/id/petisi/buat-daftar-nasional-predator-seksual. Bisa juga mencari informasi di Facebook Petisi Database Pelaku Kekerasan Seksual dan Twitter @petisidatabase.
Aniaya bocah