KOMPAS.com - Lengang mewarnai Jalan MH Thamrin, Minggu (3/8/2014) pagi. Meskipun tidak ada hari bebas kendaraan bermotor, sejumlah warga tetap asyik bersepeda bersisian dengan kendaraan bermotor yang lalu lalang. Tidak ada kemacetan, meskipun sebagian lajur jalan digunakan untuk pembangunan stasiun.
Stasiun itu rencananya akan digunakan untuk kereta mass rapid transit (MRT). Pembangunannya dilakukan PT MRT Jakarta.
Di seputar Bundaran Hotel Indonesia, sejumlah perbedaan mulai terlihat seperti ”hilangnya” halte transjakarta Bundaran HI. Selain itu, jembatan penyeberangan orang yang ada di sisi timur juga dibongkar dan diganti dengan jembatan baru yang belum selesai pembangunannya.
”Ya, tidak apalah sekarang macet, tetapi nantinya kita punya kereta api yang bagus. Kalau tidak sekarang, kapan lagi,” ujar Bobby, warga Cinere, yang kemarin menikmati lengangnya Jakarta bersama koleganya.
Dia menyatakan terjebak kemacetan saat mengendarai mobil melintasi ruas Jalan Sudirman-MH Thamrin pada hari kerja. Meskipun kesal karena menghabiskan waktu lebih banyak dan harus mengeluarkan biaya tambahan untuk membeli bensin, tetapi dia memiliki harapan akan moda transportasi massal yang jauh lebih baik di kemudian hari.
Pemandangan jalan yang lengang ini memang kontras dengan lalu lintas kendaraan bermotor sehari-hari di hari kerja. Macet panjang biasanya berjajar dari Jalan Sudirman hingga Jalan MH Thamrin. Setelah pengerjaan fisik skala besar MRT dilakukan, pertengahan Juli, kemacetan kian parah karena penyempitan lajur jalan.
Di Jalan MH Thamrin menjelang Bundaran HI, misalnya, tersisa tiga lajur kendaraan dan satu lajur transjakarta. Lebar setiap lajur juga tidak sebesar sebelumnya meskipun lebar jalan sudah mengambil sebagian trotoar.
Kondisi saat ini diperkirakan akan berlangsung 1,5-2 tahun mendatang, sesuai dengan lama waktu pengerjaan fisik yang dilakukan.
Direktur Utama PT MRT Dono Boestami, dalam konferensi pers pertengahan Juli, mengatakan, lahan yang digunakan untuk pengerjaan fisik MRT ini disesuaikan dengan alat yang digunakan. Alat bor bawah tanah yang besar, misalnya, membuat lahan yang diperlukan untuk pengerjaan fisik luas, yakni sekitar 29 meter.
Pengerjaan fisik saat ini mulai dilakukan di tengah jalan sesuai dengan lokasi stasiun MRT yang akan dibangun.
Sebelumnya, pengerjaan fisik dilakukan untuk mempersiapkan lahan yang akan dipakai untuk pekerjaan utama. ”Kami menyiapkan lahan di sisi kanan-kiri agar lajur kendaraan bisa digeser dan kami mulai bekerja di bagian tengah jalan dengan meminimalkan pengurangan lajur jalan. Jadi, pekerjaan yang lalu merupakan persiapan untuk pekerjaan utama yang kami mulai saat ini,” kata Direktur Konstruksi PT MRT Jakarta M Nasyir.
KRL dan MRT
Sistem perkeretaapian yang akan diterapkan di MRT sebenarnya tidak jauh berbeda dengan kereta rel listrik (KRL) Jabodetabek yang sehari-harinya melayani sekitar 650.000 penumpang.
KRL Jabodetabek pun sebenarnya termasuk MRT, sebuah sistem perkeretaapian berdaya angkut besar dan waktu tempuh yang cepat.
Namun, karena nama KRL Jabodetabek sudah lebih dulu beken, sistem perkeretaapian ini disebut KRL, bukan MRT. Apalagi, KRL Jabodetabek yang beroperasi saat ini merupakan satu-satunya kereta api di Indonesia yang digerakkan dengan tenaga listrik.