Saham kepemilikan Palyja kini masih dipegang oleh Suez International sebesar 51 persen yang bakal diambil alih PT Pembangunan Jaya dan PT Astratel sebesar 49 persen yang bakal diakuisisi PT Jakarta Propertindo.
Pada masa pemerintahan Presiden Soeharto, terjadi perjanjian kerja sama (PKS) antara PDAM Jaya dengan Palyja. Di dalam PKS itu, terdapat aturan mengenai besaran imbalan yang harus dibayarkan PDAM Jaya kepada operator. PDAM Jaya sebagai BUMD DKI wajib membayar Palyja sebesar Rp 7.000 per meter kubik, sementara tarif air yang dibayarkan warga kepada PDAM Jaya hanya Rp 1.000. Maka, kekurangan sebesar Rp 6.000 menjadi tanggungan PDAM Jaya.
"Ya, makanya (Palyja) mau kami beli. Tapi, masalah gugatan hukum LBH Jakarta di PN Jakarta Pusat kan belum selesai," kata Basuki.
Kontrak perjanjian kedua operator air tersebut tidak menguntungkan Pemprov DKI. Pasalnya, dalam kontrak tersebut, operator pengelola air hanya perlu membayar denda Rp 80 juta per 1 persen dari selisih target yang ditetapkan. Jika PDAM Jaya menargetkan tingkat kebocoran air hanya 30 persen, dan kenyataannya 40 persen, operator swasta ini hanya perlu membayar Rp 800 juta untuk denda 10 persen kebocoran air.