Kepala Satuan Polisi Pamong Praja DKI Jakarta Kukuh Hadi Santosa mengatakan, 23 bangunan yang dibongkar itu tidak memiliki sertifikat hak milik tanah dan bangunan. Itu sebabnya, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tidak bisa memberikan uang ganti rugi.
”Ganti rugi hanya bisa diberikan apabila warga bisa menunjukkan sertifikat kepemilikan bangunan. Kalau warga bisa menunjukkan surat kepemilikan, kami akan mengakomodasi sesuai ketentuan,” kata Kukuh di Jakarta, kemarin.
Menurut Kukuh, sebelum pembongkaran dilaksanakan, pihaknya sudah menyosialisasikan rencana pembangunan depo MRT di lokasi tersebut. Selain itu, pihaknya juga sudah memberikan surat pemberitahuan kepada warga agar segera meninggalkan lokasi pembangunan.
Wakil Wali Kota Jakarta Selatan Tri Djoko menjelaskan, pihaknya tidak bisa menunda rencana pembongkaran bangunan liar itu. ”Kami sudah menyosialisasikan rencana ini sejak lama. Saya tegaskan, hari ini bangunan liar harus rata dengan tanah,” ujarnya.
Tri menjelaskan, seluruh bangunan liar yang dibongkar berada di dalam kompleks Stadion Lebak Bulus seluas 31.000 meter persegi. Total luas lahan bangunan yang dibongkar mencapai 7.500 meter persegi. Menurut Tri, lokasi bekas Terminal Lebak Bulus dan Stadion Lebak Bulus tersebut akan dijadikan depo MRT.
Protes warga
Sejak pukul 07.00, petugas mulai mengangkut barang-barang yang berada di dalam rumah warga. Dengan menggunakan alat berat, petugas kemudian merobohkan bangunan rumah dan kios di kompleks stadion itu. Petugas juga menebang pohon-pohon di sana.
Salah satu bangunan yang terkena dampak pembangunan MRT adalah tempat tinggal Neri Ruliarso (43), pedagang kopi dan mi instan. Sejak lima tahun lalu, Neri dan Sulis (68), ibunya yang terkena stroke, menyewa ruang di Stadion Lebak Bulus untuk tempat tinggal.
Neri menjelaskan, sambil mencari tempat tinggal baru, ia bersama ibunya yang merupakan pendukung senior klub sepak bola Persija diizinkan tinggal di Stadion Lebak Bulus hingga Februari 2015. Namun, belum memasuki tahun baru, rumahnya sudah dirobohkan.
”Tadi malam ibu sudah saya pindahkan. Sementara ini kami menumpang di rumah teman di dekat Terminal Lebak Bulus,” kata Neri sambil mengumpulkan seng dan besi bekas bangunan untuk dijual.
Saat pembongkaran dilaksanakan, sejumlah warga terlihat protes. Salah satunya, Susilawati (37), yang mengaku terkejut karena pembongkaran dilaksanakan mendadak.
”Beberapa waktu lalu memang ada sosialisasi. Kemudian dilanjutkan pengukuran rumah. Sekarang tiba-tiba rumah dirobohkan,” kata perempuan yang sudah tinggal di kompleks stadion itu lebih dari 20 tahun.
Kepada Wakil Wali Kota Jakarta Selatan, Susilawati meminta pembongkaran dihentikan. Namun, menurut Tri Djoko, pembongkaran tidak dapat ditunda. ”Sebagai gantinya, kami siap memberikan ganti rugi asalkan warga bisa menunjukkan bukti-bukti kepemilikan lahan,” katanya.
Andi Faisal, perwakilan tim kuasa hukum warga, menjelaskan, warga tidak setuju dengan pembongkaran lahan yang dilakukan Pemprov DKI. Menurut dia, tidak semua lahan merupakan tanah garapan milik negara. Lahan yang berada di luar Stadion Lebak Bulus, seluas 3.500 meter persegi, merupakan lahan milik warga yang juga terkena pembongkaran.