Sukmawati menjelaskan bahwa dalam lampiran adendum itu ada dua yakni terkait business plan dan lokasi depo. Seharusnya, kata dia, Pemprov DKI memberi lokasi atau tempat untuk depo monorel. Dia mempersilakan pemerintah DKI untuk memutus kontrak kerja sama.
"Dua itu yang terus diutak-atik oleh pemerintah DKI. Tapi kalau memutuskan kontrak silakan saja kami tunggu suratnya. Seperti apa suratnya," kata Sukmawati saat dihubungi di Balai Kota DKI Jakarta, Minggu (25/1/2015).
Meski begitu, dia belum terpikirkan untuk melakukan gugatan melalui jalur hukum jika diputus kontraknya. Namun, jika terdesak PT JM akan melalui jalur hukum. "Upaya hukum itu dilakukan untuk yang teraniaya. Kalau bisa berunding lebih bagus," ujar dia.
Dia menyakini PT JM akan menang jika dibawa ke pengadilan arbitrase karena pihaknya memiliki dokumen yang lengkap dan dasar hukum yang jelas.
Sukmawati juga menegaskan bahwa banyak tuduhan yang tidak benar kepada PT JM, seperti tidak bekerja dengan baik dalam pembangunan moda transportasi berbasis rel itu. Padahal, kata dia, proyek tak bisa berjalan karena Pemprov DKI tak kunjung menandatangani adendum perjanjian kerja sama yang dilakukan antara PT JM dengan pemerintah DKI.
"Jika dituding tidak bekerja oleh Pemprov, kami menolak. Sebab, adendum perjanjian yang memuat persetujuan Depo dan business plan belum disetujui oleh DKI, jadi pekerjaan konstruksi juga tidak bisa JM teruskan," kata Sukmawati. (bin)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.