Hal ini bisa dilihat pada kasus Dedi (34), korban salah tangkap. Dia sempat merasakan dinginnya jeruji besi selama sepuluh bulan karena divonis melakukan pembunuhan pada 2014 lalu oleh Pengadilan Negeri Jakarta Timur. Namun Pengadilan Tinggi Jakarta memvonisnya tidak bersalah.
Kriminolog Universitas Indonesia Ferdinand T Andi Lolo mengatakan, bentuk kasus Dedi merupakan miscarriage of justice atau biasa dikenal sebagai peradilan sesat. Kasus ini tentu tak mungkin terjadi, jika polisi tak serta merta menetapkan Dedi sebagai tersangka dan mengirim ke meja hijau.
"Jadi ini adalah miscarriage of justice. Penyidik kan sudah ada prosedur tetapnya, dan ini jelas prosedur tetap yang sudah digariskan KUHAP tidak dijalankan dengan baik," kata Ferdinand saat dihubungi Kompas.com, Jakarta, Kamis (30/7/2015).
Pertama kekeliuran yang jelas yakni tidak memastikan identitas si orang yang mereka tangkap. Kedua, tidak melakukan melihat saksi, alat bukti dan lain-lain. "Kalau mereka melihat itu kan tidak akan salah tangkap," ujarnya.
Kesalahan prosedur yang dilakukan polisi, kata Ferdinand, yakni soal tidak mengecek identitas pelaku sebenarnya. Dua nama muncul dalam kasus ini, yakni Dodi dan Dedi. Wajah keduanya mirip, dan Dodi diduga merupakan pelaku sebenarnya.
"Pertama kan harus dipastikan identitasnya. Supaya tidak terjadi salah tangkap dan ditahan secara keliru. Bahkan orangnya sudah jelas kembar identik, harus dipastikan bahwa si A melakukan bukan si B," kata Ferdinand.
Selain itu, proses pemberian kesempatan kepada Dedi untuk menghadirkan saksi meringankan juga dipertanyakan. Saksi tersebut untuk memberikan penjelasan sebenarnya kepada polisi terkait peristiwa saat itu.
"Harus juiga dilihat dalam proses itu tersangka atau terdakwa sudah diberikan kesempatan diberikan saksi meringankan. Karena kan ada saksi meringankan pada saat pengeroyokan itu dia tidak ada di tempat kejadian perkara dan bukan dia yang melakukan. Jadi kalau dilihat dari sini, banyak hak terdakwa ini tidak diberikan aparat," ujar Ferdinand.
Bukan hanya polisi, Jaksa Penuntut Umum (JPU) dan hakim saat vonis Dedi di PN Jakarta Timur juga tak luput dari masalah ini. Ferdinand menilai perlu dilakukan pemeriksaan terhadap putusan yang dibuat polisi, jaksa dan hakim sebagai penentu saat persidangan.
Pada 18 September 2014 lalu, terjadi keributan di pangkalan ojek di sekitar Pusat Grosir Cililitan (PGC). Dua sopir angkot berkelahi karena berebut penumpang.
Tukang ojek yang ada di pangkalan pun berupaya melerainya. Namun, karena sakit hati, salah satu sopir angkot pulang dan kembali ke lokasi membawa senjata. Ia pun dikeroyok oleh sejumlah tukang ojek dan sopir angkot lainnya di sana.
Peristiwa itu membuat sopir angkot itu tewas. Tujuh hari setelahnya, polisi dari Kepolisaian Resor Metro Jakarta Timur mengejar orang yang menewaskan sopir angkot itu.
Pelaku diketahui bernama Dodi yang bekerja sebagai sopir angkot. Namun, bukannya menangkap Dodi, polisi justru menangkap Dedi. Padahal, saat kejadian, Dedi sudah pulang ke rumahnya di kawasan Tebet, Jakarta Selatan.
Namun, proses hukum tetap berjalan sehingga pria itu divonis bersalah oleh hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Timur. Ia pun mendekam di Rutan Cipinang.
Kendati demikian, Nurohmah tidak menyerah. Ia meminta bantuan Lembaga Bantuan Hukum untuk mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi. (Baca: Sempat Ditahan 10 Bulan, Tukang Ojek Ini Ternyata Tidak Bersalah)
Belakangan, hakim Pengadilan Tinggi mengabulkan banding LBH. Dedi pun dinyatakan tidak bersalah dan dibebaskan. Melaluirelease No.142/PID/2015/PT.DKI Jo No.1204/Pid.B/2014/PN.Jkt.Tim, hakim memutuskan Dedi tidak bersalah dan tuntutan jaksa penuntut umum tidak sah.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.