Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

PPD Anggap PT Transjakarta Tak Adil

Kompas.com - 15/09/2015, 10:13 WIB
Alsadad Rudi

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Perum Pengangkutan Penumpang Djakarta (PPD) merasa tidak diperlakukan dengan adil terkait adanya tawaran pemberlakuan sistem pembayaran rupiah per kilometer kepada operator angkutan umum perbatasan terintegrasi transjakarta (APTB). Sebab, PPD menyatakan, sampai sejauh ini PT Transjakarta tidak pernah melakukan hal yang sama kepada mereka selaku operator layanan transjabodetabek.

"Kalau mau menawarkan rupiah per kilometer harusnya tidak cuma ke APTB saja, tapi ke transjabodetabek juga. Jadi, berpikirnya global aja, jangan setengah-setengah seperti itu," kata Direktur Utama Perum PPD Pande Putu Yasa kepada Kompas.com, Selasa (15/9/2015).

Menurut Pande, pada dasarnya layanan APTB dan transjabodetabek tidak memiliki perbedaan. Jenis bus yang digunakan sama-sama berstandar bus rapid transit (BRT) dan melayani rute dari Jakarta ke kota-kota penyangga.

Perbedaan hanya terletak pada pungutan pada penumpang. Bila APTB menarik pungutan pada penumpang yang naik dari halte transjakarta tanpa mempertimbangkan bus masih berada di dalam "busway", maka hal demikian tidak terjadi pada layanan transjabodetabek.

Sebab, transjabodetabek baru akan menarik pungutan pada penumpang yang naik dari halte transjakarta setelah bus keluar dari busway.

"Kita sudah membantu mengangkut penumpang transjakarta tanpa memungut bayaran. Tapi kita tidak pernah ditawari pembayaran rupiah per kilometer," ujar Pande.

Sistem pengoperasian bus transjabodetabek yang tak memungut bayaran bagi penumpang yang naik turun di dalam koridor transjakarta sebenarnya tidak menguntungkan bagi PPD.

Beberapa waktu lalu, Pande sempat mengeluhkan mengenai banyaknya warga yang memanfaatkan naik transjabodetabek hanya pada saat bus tersebut berada di dalam busway, namun keluar dari bus saat kendaraan akan keluar dari jalur khusus tersebut. Situasi ini banyak terjadi pada layanan transjabodetabek rute Bekasi.

"Banyak yang milih tidak naik dari Harapan Indah. Tapi naik angkot dulu ke halte tranjakarta paling dekat. Baru mereka naik bus kita. Pas pulangnya gitu juga. Begitu bus mau keluar dari Jakarta, mereka turun terus lanjutin naik angkot. Tujuannya supaya menghindari bayar Rp 9.000. Kalau naik angkot kan cuma bayar Rp 2.000," ungkap Pande kepada Kompas.com, Sabtu (12/9/2015).

Pande menyebut situasi ini menyebabkan banyaknya penumpang yang terangkut tak berbanding lurus dengan keuntungan yang didapat. Ia menilai, kondisi tersebut sangat tidak menguntungkan bagi kelangsungan usaha. Sebab, bila terus terjadi berpotensi mendatangkan kerugian yang besar.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Bisakah Beli Tiket Masuk Ancol On The Spot?

Bisakah Beli Tiket Masuk Ancol On The Spot?

Megapolitan
Keseharian Galihloss di Mata Tetangga, Kerap Buat Konten untuk Bantu Perekonomian Keluarga

Keseharian Galihloss di Mata Tetangga, Kerap Buat Konten untuk Bantu Perekonomian Keluarga

Megapolitan
Kajari Jaksel Harap Banyak Masyarakat Ikut Lelang Rubicon Mario Dandy

Kajari Jaksel Harap Banyak Masyarakat Ikut Lelang Rubicon Mario Dandy

Megapolitan
Datang Posko Pengaduan Penonaktifkan NIK di Petamburan, Wisit Lapor Anak Bungsunya Tak Terdaftar

Datang Posko Pengaduan Penonaktifkan NIK di Petamburan, Wisit Lapor Anak Bungsunya Tak Terdaftar

Megapolitan
Dibacok Begal, Pelajar SMP di Depok Alami Luka di Punggung

Dibacok Begal, Pelajar SMP di Depok Alami Luka di Punggung

Megapolitan
Ketua DPRD DKI Kritik Kinerja Pj Gubernur, Heru Budi Disebut Belum Bisa Tanggulangi Banjir dan Macet

Ketua DPRD DKI Kritik Kinerja Pj Gubernur, Heru Budi Disebut Belum Bisa Tanggulangi Banjir dan Macet

Megapolitan
Rampas Ponsel, Begal di Depok Bacok Bocah SMP

Rampas Ponsel, Begal di Depok Bacok Bocah SMP

Megapolitan
“Semoga Prabowo-Gibran Lebih Bagus, Jangan Kayak yang Sudah”

“Semoga Prabowo-Gibran Lebih Bagus, Jangan Kayak yang Sudah”

Megapolitan
Ketua DPRD: Jakarta Globalnya di Mana? Dekat Istana Masih Ada Daerah Kumuh

Ketua DPRD: Jakarta Globalnya di Mana? Dekat Istana Masih Ada Daerah Kumuh

Megapolitan
Gerindra dan PKB Sepakat Berkoalisi di Pilkada Bogor 2024

Gerindra dan PKB Sepakat Berkoalisi di Pilkada Bogor 2024

Megapolitan
Anggaran Kelurahan di DKJ 5 Persen dari APBD, F-PKS: Kualitas Pelayanan Harus Naik

Anggaran Kelurahan di DKJ 5 Persen dari APBD, F-PKS: Kualitas Pelayanan Harus Naik

Megapolitan
Mobil Mario Dandy Dilelang, Harga Dibuka Rp 809 Juta

Mobil Mario Dandy Dilelang, Harga Dibuka Rp 809 Juta

Megapolitan
Jual Foto Prabowo-Gibran, Pedagang Pigura di Jakpus Prediksi Pendapatannya Bakal Melonjak

Jual Foto Prabowo-Gibran, Pedagang Pigura di Jakpus Prediksi Pendapatannya Bakal Melonjak

Megapolitan
Periksa Kejiwaan Anak Pembacok Ibu di Cengkareng, Polisi: Pelaku Lukai Tubuhnya Sendiri

Periksa Kejiwaan Anak Pembacok Ibu di Cengkareng, Polisi: Pelaku Lukai Tubuhnya Sendiri

Megapolitan
Fahira Idris Paparkan 5 Parameter Kota Tangguh Bencana yang Harus Dipenuhi Jakarta sebagai Kota Global

Fahira Idris Paparkan 5 Parameter Kota Tangguh Bencana yang Harus Dipenuhi Jakarta sebagai Kota Global

Megapolitan
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com