Sebab, laporan tersebut terlampau banyak dan sebagian besar dilaporkan tim sukses pasangan calon masing-masing.
"Laporan itu kan bagian dari strategi untuk saling menekan. Jadi, kalau saling lapor, ya berarti saling menekan," kata pengamat politik, Ray Rangkuti, kepada Kompas.com, Jakarta, Kamis (22/10/2015).
Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) mencatat ada 79 laporan dugaan pelanggaran pada Pilkada Tangsel. Jumlah tersebut melebihi tiga wilayah lain di Provinsi Banten yang juga menggelar pilkada pada Desember 2015.
"Tapi, belum tentu laporan itu benar. Kan laporannya dulu, kebenarannya belakangan," kata Ray.
Kendati demikian, adanya laporan tersebut juga dapat berimplikasi positif. Salah satunya untuk mengontrol masing-masing peserta pilkada.
"Tapi, ini juga tugas dari Bawaslu dan Panwaslu untuk benar-benera melihat laporan itu secara baik urgensinya," ujar Ray.
Pengawas pemilu diminta untuk mendahulukan laporan yang memiliki urgensi dan prinsipil.
Pelanggaran seperti letak pemasangan spanduk dianggap dapat diselesaikan cepat tanpa harus membuang waktu.
"Tapi, jika dibanding temuan mobilisasi PNS terkait kampanye ilegal, baiknya itu didahului karena urgen," jelas Ray.
Petahana tak percaya diri
Pilkada Tangsel dianggap cukup bergengsi. Hal ini dibuktikan dari banyaknya laporan dugaan pelanggaran dari masing-masing calon.
Selain itu, Ray juga menilai keikutsertaan lagi petahana Airin-Davnie dalam pilkada juga dapat dikategorikan pesta lima tahunan ini ketat.
Apalagi, lanjut Ray, pasangan ini tampak kurang percaya diri cukup untuk memenangi pilkada.
"Karena mereka sadar empat tahun belakangan ini enggak kerja apa-apa. Tidak memiliki prestasi cukup gemilang untuk diberikan kepada masyarakat," jelas Ray.