"Kami sudah buat contohnya seperti alat daur ulang plastik, pabrik pengolahan kompos, kemudian juga pembangkit listrik dengan landfill, pembangkit listrik dengan anaerobic digestion, belum lagi yang lain-lain seperti penghijauan, pengolahan air sampah, perbaikan jalan, pemasangan lampu, dan yang lain," ujar Douglas ketika dihubungi, Senin (26/10/2015).
Namun, Douglas mengaku ada satu alat pengolahan sampah yang belum berhasil dibuat oleh PT NOEI (Navigate Organic Energy Indonesia), selaku perusahaan yang juga bekerja sama dengan Pemprov DKI untuk membuat alat pembangkit tenaga listrik. Alat yang belum selesai dibuat adalah pembangkit listrik dengan gasifikasi.
Douglas mengatakan, hal ini karena ada beberapa hal yang tidak dapat diterima oleh PT NOEI. Salah satunya adalah kebutuhan listrik yang tidak mencapai target kebutuhan mereka. "Kenapa tidak terwujud? Karena memang ada income yang tidak didapatkan kaya listrik, target kita itu 26 megawatt. Tapi sekarang di bawah itu," ujar Douglas.
Jika income kebutuhan listrik tidak terpenuhi, PT NOEI kesukitan membuat alat pembangkit listrik dengan gasifikasi. Douglas mengatakan, Pemprov DKI memiliki andil terkait hal ini. Menurut dia, semua sistem pembuatan instalasi tersebut sudah disesuaikan dengan batas maksimum sampah yang dikirim oleh DKI Jakarta ke TPST Bantargebang.
Seharusnya, DKI Jakarta mengirim maksimal 3.000 ton sampah ke TPST tiap harinya. Kenyataannya, sampah DKI Jakarta yang masuk ke TPST Bantargebang mencapai 7.000 ton.
"Artinya semua program-program yang kita buat berantakan dong. Karena dibuang di sini, sudah mau dibuat sumur gasnya, eh sudah ditambah lagi sampah baru. Apalagi luas kita kan ngga ekspansi, masih luas yang sama. Nah hal seperti ini yang belum diketahui Pemprov," ujar dia.
Douglas pun mengingatkan bahwa ada dua instruksi gubernur yang telah dikeluarkan mengenai hal ini. Isinya adalah untuk mengkaji kontrak kembali agar bisa saling menguntungkan kedua belah pihak. Kemudian, juga agar bisa dikaji lagi adendum kontrak antara Pemprov DKI dengan PT GTJ. Sehingga, permasalahan yang dimiliki oleh PT GTJ bisa mendapatkan jalan keluar.
"Tapi kajian-kajian ini belum dilakukan, Pemprov DKI malah memberikan SP 1. Kan harusnya itu dulu yang ditindaklanjuti. Kalau tidak, inggub itu untuk apa?" ujar dia.
Sebelumnya, PT GTJ disebut belum membuat teknologi pengelolaan sampah dengan gasifikasi, landfill, and anaerobic digestion (Galvad) sejak kerja sama dengan Pemprov DKI tahun 2008. Hal ini yang dibantah oleh Douglas. Sedangkan tipping fee (biaya pengangkutan sampah) terus dibayar DKI ke PT GTJ.
"PT GTJ dibayar DKI Rp 400 miliar tiap tahun tapi kerjanya ngaco. Makanya orang Bekasi mengeluh dan pertanyaan saya, pernah enggak DPRD Bekasi ribut sama GTJ? Sekarang selidiki saja nama-nama anggota DPRD Bekasi yang terlibat sama GTJ," ujar Basuki.
Jika kontrak kerja sama antara Pemprov DKI dan PT GTJ sudah putus, lanjut dia, Pemprov DKI akan mengalokasikan dana hibah kepada Pemkot Bekasi.