JAKARTA, KOMPAS.com — Seorang nelayan, Muhammad Tahir, menceritakan kesulitan yang dialami nelayan tradisional, khususnya di Teluk Jakarta. Akibat proyek reklamasi, Tahir mengatakan, nelayan kini bahkan kesulitan mendekat ke area tangkap mereka.
"Kami ke sana sudah enggak bisa, sudah diintimidasi. Artinya, dihalang-halangi. Kalau ada yang bilang Indonesia mau jadi poros maritim dunia, itu bicara kosong. Kami saja seperti ini," ujar Tahir di Kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH), Jakarta Pusat, Rabu (11/11/2015).
Tahir menganggap nelayan Teluk Jakarta menjadi tolok ukur kesejahteraan nelayan di wilayah lain. Sebab, seharusnya, nasib mereka lebih diperhatikan karena terletak di ibu kota negara.
Namun, yang terjadi saat ini, anak-anak para nelayan bahkan malu mengakui profesi ayah mereka.
"Ada gak anak nelayan ngaku ayahnya kerja nelayan? Di tempat kami enggak ada," ujar dia.
Tahir mencoba menjelaskan kondisi nelayan tradisional di Teluk Jakarta dengan membeberkan pendapatan per hari mereka.
Dia mengatakan, pada 1990-an, nelayan di Teluk Jakarta terhitung sejahtera. Mereka bisa mendapatkan Rp 400.000 hingga Rp 500.000 per hari. Kini, pendapatan mereka turun drastis menjadi Rp 25.000 saja setiap harinya.
Semua itu akibat limbah industri yang semakin lama semakin merusak laut mereka.
Tahir hanya meminta pemerintah bisa tegas menindak perusahaan pembuang limbah tersebut. Bukan malah melakukan reklamasi yang kembali menguntungkan pengembang.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.