Kapolda Metro Jaya Irjen Tito Karnavian mengibaratkan sistem penyebaran radikalisme dengan sistem komunikasi.
Ada pesan yang disampaikan, ada pemberi pesan, media yang menyalurkan pesan, dan penerima pesan. (Baca: Peran Masyarakat Sipil Membendung Radikalisasi dalam Buku "Deradikalisasi").
Dalam konteks radikalisme, Tito menggambarkan pengirim pesan sebagai perekrut kader radikal. Sementara itu, penerima pesannya adalah masyarakat.
Menurut Tito, proses penyampaian pesan atau ideologi radikal dapat berjalan mulus kalau yang menyampaikan pesan tersebut memiliki kemampuan yang baik.
"Ideologi akan sampai ke seseorang dengan baik kalau orang yang menyampaikan pesan kharismatik, dan memiliki kemampuan yang sangat baik," kata Tito dalam acara peluncuran dan diskusi buku "Deradikalisasi, Peran Masyarakat Sipil Indonesia Membendung Radikalisme", di Gedung Bentara Budaya, di Palmerah, Jakarta, Jumat (12/2/2016).
Mantan Kepala Detasemen Khusus 88 Antiteror itu menyampaikan, pesan radikalisme akan lebih efektif tersampaikan apabila pesan tersebut diterima mentah-mentah.
Apalagi, kalau narasi pesan yang disampaikan itu begitu kuat dan menarik. "Settingan-nya ayat-ayatnya sangat bagus sekali, kemudian dilakukan secara intens terus menerus, dengan jalur ketemu langsung atau melalui internet chatting," ujar Tito.
Pada akhirnya, paham radikalisme itu akan terserap. Kendati demikian, menurut Tito, rangkaian penyebaran paham radikalisme ini bisa ditangkal dengan melemahkan salah satu, atau bahkan semua komponen penyaluran tersebut.
Misalnya, dengan melemahkan si pengirim pesan radikalisme atau melemahkan si perekrut. Bisa juga dengan menguatkan masyarakat selaku penerima pesan.
Masyarakat dapat lebih dikuatkan pemahamannya mengenai bahaya radikalisme. Contoh lainnya dengan menetralisir isi pesan radikalisme tersebut.
Demikian juga dengan media yang digunakan untuk penyebarannya. (Baca: Eks Wakil Kepala BIN: Radikalisme karena Politik, Bukan Agama).
"Misalnya melemahkan konsepnya. Konsep jihad, jihad sebetulnya kan enggak seperti itu. Konsep istimata, bunuh diri enggak seperti itu, ayatnya kan enggak seperti itu bunyinya," ujar Tito.
Selain itu, lanjut dia, perlu diintensifkan penyebaran ideologi murni negara seperti Pancasila, empat pilar, serta paham demokrasi.
Sayangnya, lanjut Tito, Pancasila dan empat pilarnya, cenderung kurang terserap masyarakat.
Sementara itu, ideologi radikal dapat dengan mudah tersebar melalui internet, dan media cetak.
"Nah ketika masyarakat tidak percaya pada demokrasi, maka dia akan mencari pilihan lain, ketika tawarannya itu adalah Negara Islam versi mereka (teroris), itu bisa saja jadi salah satu opsi (pilihan)," kata dia.
Langkah lain yang dapat dilakukan dalam menangkal radikalisme, kata dia, adalah dengan memahami kondisi sosial, ekonomi, politik, dan budaya setiap daerah di Indonesia.
"Kenapa di Poso hidup, di Bima hidup, dan di daerah tertentu hidup? Maka kalau unsur (alur radikalisme) tadi satu saja berhasil kita lemahkan, saya kira kita bisa menetralisir radikalisasi," ujar jenderal bintang dua itu.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.