Mulai dari pemukiman di bantaran kali, di atas saluran air, hingga yang berdiri di atas ruang terbuka hijau (RTH).
Masih terbayang di benak, bagaimana Pemerintah Kota Jakarta Timur dan Satpol PP DKI Jakarta membongkar sejumlah pemukiman liar di Kampung Pulo di sepanjang bantaran Kali Ciliwung, 20 Agustus 2015 lalu.
Kawasan itu menjadi kawasan langganan banjir. Namun, setiap kepala daerah menemui kesulitan ketika akan menertibkan bangunan liar di bantaran Kali Ciliwung itu.
Seperti yang diucapkan oleh Lurah Kampung Melayu Bambang Pangestu.
"Sudah lima gubernur, enggak ada yang jadi bongkar. Mereka juga jadi bodo amat, akhirnya bangun rumah lagi. Baru Pak Ahok (Basuki) nih yang akhirnya berani membuat keputusan itu. Kata Bapak, 'bereskan'," ujar Bambang ketika itu.
Tak sedikit penolakan serta kecaman yang disampaikan beberapa pihak kepada Basuki dan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. (Baca: Penambahan RTH Tak Harus Membongkar Wilayah Berpenghuni).
Meski penertiban berakhir ricuh, namun sekitar 920 kepala keluarga (KK) telah direlokasi ke Rusun Jatinegara Barat.
Cara yang ditempuh Basuki pun terbilang berbeda dengan gubernur sebelumnya, Joko Widodo.
Tak ada komunikasi dan makan siang seperti yang dilakukan Jokowi. Basuki lebih memilih menggunakan ancaman pemecatan bagi anak buahnya yang tak mau mengikuti instruksinya.
Pada akhirnya, sebagian bangunan liar di bantaran Kali Ciliwung telah rata dengan tanah.
Langkah pertama yang dilakukan Pemprov DKI Jakarta setelah itu adalah pembangunan sheet pile atau dinding turap di sisi Kali Ciliwung.
"Target saya tahun ini cuma Kampung Pulo tidak banjir," kata Basuki.
Meskipun belum benar-benar bebas banjir, namun banjir di Kampung Pulo mulai dapat teratasi.
Jalan Jatinegara Barat dan Terminal Kampung Melayu yang biasanya terendam banjir, kini tidak lagi demikian.