JAKARTA, KOMPAS.com — Asisten Sekda bidang Pembangunan (Asbang) DKI Jakarta Gamal Sinurat menjelaskan perbedaan bantuan swasta dalam bentuk corporate social responsibility (CSR) dan kewajiban pengembang. Pemberian bantuan dalam bentuk CSR merupakan sukarela dari pihak swasta.
"Bantuan CSR enggak ada kontraprestasi atau dengan kata lain, hibah. Kewajiban pengembang merupakan kewajiban berdasar kontrak oleh para pengembang," kata Gamal kepada wartawan, di Balai Kota, Senin (11/4/2016).
Salah satu bentuk CSR di Jakarta, contohnya, pembangunan ruang publik terpadu ramah anak (RPTRA). Sementara kewajiban pengembang seperti pembangunan rumah susun maupun jalan raya.
Gamal menjelaskan, tidak ada ikatan apa-apa antara Pemprov DKI Jakarta dan perusahaan pemberi CSR.
"CSR itu dana sosial perusahaan, besarannya yang tahu ya mereka sendiri. Biasanya tiap perusahaan punya aturan masing-masing memberikan CSR ke pemerintah, berapa persen dari keuntungan mereka. Kalau perusahaan BUMN lima persen dari keuntungan mereka," kata Gamal.
Sementara itu, kewajiban pengembang diikat oleh berbagai pasal dalam perjanjian kerja sama (PKS) dengan Pemprov DKI Jakarta. Tak hanya itu, ada notaris yang bertugas menjadi saksi penerbitan PKS tersebut. (Baca: Memanjakan Warga Jakarta dengan Produk-produk CSR)
Hal ini dilakukan agar kewajiban pengembang tidak sekadar lip service. Ia mencontohkan, ketika ada sebuah perusahaan membangun hotel, ketika ada kelebihan koefisien lantai bangunan (KLB), maka perusahaan itu wajib membangun fasilitas sosial dan fasilitas umum.
"Biasanya (PKS) berlaku tiga tahun (untuk membangun fasos dan fasum). Kalau (fasos dan fasum) tidak dibangun, SLF (sertifikat layak fungsi) tidak terbit," kata Gamal. (Baca: Ketua DPRD: Dana CSR untuk DKI, Siapa yang Diuntungkan?)
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.