JAKARTA, KOMPAS.com - Megaproyek mass rapid transit (MRT) yang diperkirakan akan mulai beroperasi pada 2019 diyakini tak akan menghapus kemacetan di Jakarta. Hal ini diungkapkan Direktur Utama PT MRT Jakarta, Dono Boestami, dalam jumpa pers, Rabu (27/7/2016).
"Kalau ditanya apakah MRT mengatasi kemacetan, saya jawab tidak akan bisa kalau MRT sendirian, harus komprehensif, lengkap dengan dukungan moda transportasi lainnya," kata Dono di kantor PT MRT di Wisma Nusantara Jalan M.H. Thamrin, Jakarta Pusat.
MRT yang dibangun dengan target terintegrasi dengan moda transportasi lainnya, hanya akan mengurangi kemacetan sekitar 30 persen. Kesuksesan MRT, menurut Dono bukan diukur dari infrastruktur yang canggih, melainkan dari pengaruhnya terhadap budaya komuter masyarakat Jakarta.
"Ini baru dikatakan sukses kalau mampu merubah peradaban, dari orang yang biasanya naik kendaraan pribadi berpindah naik transportasi massal," ujarnya.
Jika pada akhirnya MRT tidak mampu mengubah kebiasaan warga, proyek senilai USD 1,5 miliar ini berpotensi tidak mampu menyelamatkan Jakarta dari kemacetan total (grid lock) pada 2020 nanti.
Pertumbuhan kendaraan bermotor di Jakarta setiap hari mencapai 1000 lebih sementara pertumbuhan jalan hanya 0,01 persen per tahun.
Perkembangan pembangunan proyek MRT hingga saat ini sudah mencapai 50,84 persen.
Jika beroperasi nanti, MRT dapat menyerap 130 ribu penumpang per hari di tahun pertamanya.
Untuk tarif, Dono mengatakan itu akan ditentukan oleh Gubernur DKI Jakarta tiga bulan menjelang beroperasi. Ia hanya menyebut, dengan headway atau jarak antar kereta yang mencapai lima menit, Lebak Bulus - Bundaran HI dapat ditempuh dengan waktu 30 menit.