JAKARTA, KOMPAS.com - Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) menilai, tindakan kepolisian yang mempertemukan M (17), siswi magang yang mengaku diperkosa tiga pengawai negeri sipil Pemprov DKI Jakarta, dengan terduga pelaku untuk mengkonfrontasi keterangan mereka tidak tepat.
Langkah tersebut dapat meyakiti korban.
Ketua Komnas PA, Arist Merdeka Sirait, di kantor Komnas PA di Pasar Rebo, Jakarta Timur, Rabu (10/8/2016), menyatakan, jika hal itu dilakukan seharusnya dengan cara terpisah. Pihaknya menyayangkan langkah kepolisian mempertemukan langsung korban dan terduga pelaku.
"Metode seperti itu enggak boleh. Itu yang salah. Artinya tetap harus dipisahkan. Karena dia anak-anak, masih di bawah umur makanya pendekatan hukumnya pun harus lex specialis," kata Arist.
Apalagi, dalam kasus itu, ada ancaman dari terduga pelaku terhadap korban.
"Anak ini diancam apabila korban memberitahu pimpinannya, akan dibunuh, itu menurut versi korban," ujar Arist.
Pengacara M, Sandi Sinaga juga menyayangkan hal itu. Pada konfrontasi dilakukan polisi, mental korban jadi terpengaruh, kata Sandi.
"Emosi korban seperti meluap, ada suatu kegeraman terhadap orang di sana. Tapi kami tahan. Ini mempengaruhi mental korban," kata Sandi.
Mental korban juga terpengaruh saat mengetahui berita bahwa hasil visumnya dinyatakan negatif.
"Korban semakin down, dibilang visumnya negatif. Tapi korban sendiri bilang tidak mau kalah," ujar Sandi.
Pihak kepolisian mempertemukan korban, saksi, dan dengan terduga pelaku di Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Polres Metro Jakarta Pusat, Selasa kemarin, untuk mengkonfrotasi keterangan mereka. Konfrontasi itu menghadirkan 19 orang, termasuk tiga terduga pelaku.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.