JAKARTA, KOMPAS.com - Jaksa penuntut umum (JPU) dalam sidang kasus kematian Wayan Mirna Salihin mempertanyakan keahlian psikolog dari Universitas Indonesia, Dewi Taviana Walida Haroen. Kepada Dewi, JPU menanyakan obyek pemeriksaan psikolog.
Mulanya, JPU menanyakan apakah Dewi pernah bertemu dan memeriksa Jessica pada kesempatan sebelumnya. Dewi kemudian menjawab, dia baru pertama kali bertemu Jessica dalam persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Senin (19/9/2016).
"Psikolog yang diperiksa dokumen atau orang?" tanya JPU.
Dewi menjawab bahwa psikolog memeriksa orang.
JPU kemudian kembali mempertanyakan keetisan Dewi sebagai seorang psikolog yang tidak memeriksa Jessica, namun hanya memeriksa dokumen hasil pemeriksaan Jessica yang dilakukan psikolog klinis Antonia Ratih Andjayani.
"Saya memeriksa dokumen ini antarpsikolog, hasil ini. Kita boleh periksa. Ini memeriksan hasil pemeriksaan. Kita membandingkan. Boleh, Pak," jawab Dewi.
Mendengar pertanyaan-pertanyaan JPU, kuasa hukum Jessica, Otto Hasibuan, menyampaikan keberatannya.
Ketua Majelis Hakim Kisworo kemudian menengahi kuasa hukum dan JPU.
"Ahli ini kan sudah disumpah. Artinya, tahu batasannya. Kalau tidak tahu batasannya, dia (ahli) tidak akan menjawab," kata Kisworo.
JPU menyatakan alasannya mempertanyakan keahlian Dewi karena keberatan dengan pernyataan-pernyataannya yang bertentangan dengan pernyataan Ratih, psikolog yang memeriksa Jessica.
Kisworo menyatakan akan mencatat keberatan JPU.
Mirna meninggal setelah meminum es kopi vietnam yang dipesan oleh Jessica di Kafe Olivier, Grand Indonesia, Rabu (6/1/2016). Jessica menjadi terdakwa kasus tersebut. JPU mendakwa Jessica dengan dakwaan tunggal, yakni Pasal 340 KUHP tentang Pembunuhan Berencana.