Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ahli Mendukung Permohonan Uji Materi Cuti Petahana yang Diajukan Ahok

Kompas.com - 27/09/2016, 10:27 WIB
Kahfi Dirga Cahya

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Mahkamah Konstitusi (MK),  Senin (26/9/2016), menggelar sidang untuk kelima kalinya terkait permohonan uji materi pasal 70 ayat 3 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada yang diajukan oleh Gubernur Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok.

Pasal itu menyangkut cuti petahana selama masa kampanye pilkada. 

Dalam sidang Selasa kemarin, Ahok menghadirkan dua ahli, yakni mantan hakim MK Harjono dan pakar hukum tata negara Refly Harun. Kesempatan pertama diberikan hakim kepada Harjono.

Dalam keterangan awal ihwal keahliannya, Harjono menegaskan soal saling terkaitnya posisi gubernur dan kepala pemerintahan sehingga posisi gubernur tanpa status kepala pemerintahan dianggap tak sesuai konstitusi. Ia merujuk pada pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945.

Harjono juga mengungkapkan kewenangan menyusun anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) provinisi hanya dimiliki gubernur. Sedangkan pejabat lainnya, baik itu wakil gubernur, pejabatan provinsi atau pelaksana tugas (plt) gubernur tidak memiliki kewenangan tersebut.

Tugas dan kewenangan gubernur itu diatur dalam pasal 65 ayat 1 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015. Salah satunya adalah perihal penyusunan APBD.

"Pasal di atas (APBD) ditugaskan kepada gubernur, tidak pada pejabat lain di Pemerintah Provinsi," kata Harjono.

Harjono juga mengkritik soal cuti petahana. Menurut dia, cuti sebagai kewajiban dalam Undang-Undang Pilkada ini dianggap tak jelas. Sebab, seseorang yang menjalankan cuti sebagai kewajiban juga kehilangan haknya, terutama soal finansial.

"Bagaiamana seseorang melakukan kewajiban tapi kehilangan haknya? Oleh karena itu, ini konstruksinya tidak jelas," kata Harjono.

Kembali ke UU Sebelumnya

Ahli lain yang dihadirkan Ahok adalah Refly Harun. Refli  memiliki pandangan serupa dengan Harjono. Bahkan ia tegas mengatakan cuti petahana untuk Ahok merugikan warga DKI Jakarta.

Refly menjelaskan, cuti selama masa kampanye seperti yang tertuang dalam pasal tersebut merugikan warga DKI Jakarta. Pasalnya, warga tidak bisa mendapatkan pelayanan publik dari kepala daerah.

Refly juga meminta kepada hakim MK untuk mengembalikan aturan soal cuti petahana ke pasal 70 ayat 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015. Dalam pasal itu, petahana dapat cuti secara on-off.

"Cuti selama 3,5 bulan sama artinya akan memotong masa jabatan pemohon yang harusnya lima tahun," kata Refly.

Dalam konteks ini, Refly menegaskan ia setuju bahwa ada kerugian baik moril maupun materiel kepada petahana. Menurut dia, bahkan kerugian ada konstitusional, antara lain hak untuk mendapatkan kepastian hukum guna menjalani masa jabatan selama lima tahun.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Bisakah Beli Tiket Masuk Ancol On The Spot?

Bisakah Beli Tiket Masuk Ancol On The Spot?

Megapolitan
Keseharian Galihloss di Mata Tetangga, Kerap Buat Konten untuk Bantu Perekonomian Keluarga

Keseharian Galihloss di Mata Tetangga, Kerap Buat Konten untuk Bantu Perekonomian Keluarga

Megapolitan
Kajari Jaksel Harap Banyak Masyarakat Ikut Lelang Rubicon Mario Dandy

Kajari Jaksel Harap Banyak Masyarakat Ikut Lelang Rubicon Mario Dandy

Megapolitan
Datang Posko Pengaduan Penonaktifkan NIK di Petamburan, Wisit Lapor Anak Bungsunya Tak Terdaftar

Datang Posko Pengaduan Penonaktifkan NIK di Petamburan, Wisit Lapor Anak Bungsunya Tak Terdaftar

Megapolitan
Dibacok Begal, Pelajar SMP di Depok Alami Luka di Punggung

Dibacok Begal, Pelajar SMP di Depok Alami Luka di Punggung

Megapolitan
Ketua DPRD DKI Kritik Kinerja Pj Gubernur, Heru Budi Disebut Belum Bisa Tanggulangi Banjir dan Macet

Ketua DPRD DKI Kritik Kinerja Pj Gubernur, Heru Budi Disebut Belum Bisa Tanggulangi Banjir dan Macet

Megapolitan
Rampas Ponsel, Begal di Depok Bacok Bocah SMP

Rampas Ponsel, Begal di Depok Bacok Bocah SMP

Megapolitan
“Semoga Prabowo-Gibran Lebih Bagus, Jangan Kayak yang Sudah”

“Semoga Prabowo-Gibran Lebih Bagus, Jangan Kayak yang Sudah”

Megapolitan
Ketua DPRD: Jakarta Globalnya di Mana? Dekat Istana Masih Ada Daerah Kumuh

Ketua DPRD: Jakarta Globalnya di Mana? Dekat Istana Masih Ada Daerah Kumuh

Megapolitan
Gerindra dan PKB Sepakat Berkoalisi di Pilkada Bogor 2024

Gerindra dan PKB Sepakat Berkoalisi di Pilkada Bogor 2024

Megapolitan
Anggaran Kelurahan di DKJ 5 Persen dari APBD, F-PKS: Kualitas Pelayanan Harus Naik

Anggaran Kelurahan di DKJ 5 Persen dari APBD, F-PKS: Kualitas Pelayanan Harus Naik

Megapolitan
Mobil Mario Dandy Dilelang, Harga Dibuka Rp 809 Juta

Mobil Mario Dandy Dilelang, Harga Dibuka Rp 809 Juta

Megapolitan
Jual Foto Prabowo-Gibran, Pedagang Pigura di Jakpus Prediksi Pendapatannya Bakal Melonjak

Jual Foto Prabowo-Gibran, Pedagang Pigura di Jakpus Prediksi Pendapatannya Bakal Melonjak

Megapolitan
Periksa Kejiwaan Anak Pembacok Ibu di Cengkareng, Polisi: Pelaku Lukai Tubuhnya Sendiri

Periksa Kejiwaan Anak Pembacok Ibu di Cengkareng, Polisi: Pelaku Lukai Tubuhnya Sendiri

Megapolitan
Fahira Idris Paparkan 5 Parameter Kota Tangguh Bencana yang Harus Dipenuhi Jakarta sebagai Kota Global

Fahira Idris Paparkan 5 Parameter Kota Tangguh Bencana yang Harus Dipenuhi Jakarta sebagai Kota Global

Megapolitan
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com