Terlalu maskulin. Itulah yang sangat terasa di benak kita ketika pada Jumat (23/9) lalu dipastikan adanya tiga pasang calon gubernur. Dari keenam orang dalam tiga paket itu, hanya Sylviana Murni yang mewakili kalangan perempuan.
Keberadaan Sylviana pun tak lebih dari calon wakil gubernur yang melengkapi Agus Harimurti Yudhoyono. Bagi saya, ini bikin masygul, dan mengesankan sedikitnya perempuan di kota secanggih Jakarta melahirkan calon pemimpin dari kalangan perempuan.
Tapi itu bukan kesimpulan. Sebab, mungkin saja memang banyak calon-calon lainnya dari kalangan perempuan, yang secara kebetulan belum terendus orang-orang penting di berbagai partai kuat yang ada di sini.
Alhasil Sylviana-lah yang mendapatkan ruang itu, dengan mengorbankan jabatan yang lebih dulu didapatkannya sebagai Deputi Gubernur bidang Budaya dan Pariwisata.
Pengorbanan yang dilakukannya, oleh sementara kalangan dinilai lebih mirip berjudi. Terlebih dia berpasangan dengan calon yang oleh Ikrar Nusa Bakti disebut sebagai sosok yang masih hijau, minim pengalaman, dan terlalu kecil peluang untuk dapat bertarung menghadapi dua pasangan lainnya: Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Saiful Hidayat dan Anies Baswedan-Sandiaga Uno.
Tapi saya pribadi tak melihat keputusan Sylviana sebagai kekeliruan. Terlihat pergerakannya sejak terpilih sebagai None Jakarta pada 1981, mengawali kiprah di Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta per 1985, hingga menaiki berbagai jenjang jabatan.
Apalagi bukan kali ini saja dia bertaruh demi pertarungan di kancah politik. Ia sempat mencicipi karier sebagai anggota legislatif setelah memilih cuti dari Pegawai Negeri Sipil dan mewakili Golongan Karya di DPRD DKI Jakarta.
Walaupun akhirnya dia kemudian melepaskan kariernya di legislatif sejak peraturan pemerintah mewajibkan PNS untuk netral dari partai politik.
Setidaknya, ia mampu menunjukkan diri sebagai pribadi bernyali, dan berjiwa petarung. Mungkin inilah yang kemudian membawanya menjadi perempuan pertama sebagai Wali Kota Jakarta Pusat pada 2008 hingga 2010.
Meskipun setiba di titik ini, dia tak cukup menonjol, terlepas posisinya setara dengan jabatan Tri Rismaharini kini di Surabaya—yang justru mampu memikat banyak kalangan, terutama media dan partai politik.
Hal lain yang semestinya menjadi bekal terpenting untuk dia bertarung adalah fakta dirinya sebagai perempuan Betawi asli. Di sini juga, saya sempat bertanya-tanya, kenapa ia bersedia menjadi “sekadar” wakil seorang calon yang masih hijau tadi. Atau, kenapa tak ada partai yang tergerak menjadikannya sebagai “pemain utama” sebagai calon gubernur.
Toh bekal yang dimilikinya tidaklah sederhana. Sejak masih remaja telah aktif mulai dari Karang Taruna di kelurahannya, Pisangan Timur, hingga menjadi Sekretaris OSIS di SMA Negeri 12 Jakarta.
Tak terkecuali saat menjadi mahasiswa, dia telah membawa pengaruh hingga menjadi Waka Kohati di organisasi sekelas Himpunan Mahasiswa Islam.
Terpenting lagi, di organisasi-organisasi yang kental aroma Betawi pun ia tak ketinggalan, hingga menjadi mencapai posisi Sekretaris Umum di Persatuan Wanita Betawi. Di samping, organisasi Bamus Betawi pun tak lepas dari kiprahnya.
Ringkasnya, dia terbilang sangat pantas berada di depan. Bukan semata-mata karena ke-Betawi-annya, karena jika merujuk persentase penduduk berdasarkan etnis, Betawi masih di posisi kedua (27,65 persen), di bawah etnis Jawa yang mencapai 35,16 persen. Tapi ia pantas karena kualifikasinya terbilang meyakinkan.